BERJUANG TANPA LELAH---CIPTAKAN RUANG PASAR TANPA PESAING DAN BIARKAN KOMPETISI TAK LAGI RELEVAN (KIM & MAUBORGNE)"

Jumat, 26 Desember 2008

Kekerasan Anak Jalanan

BAB I

P E N D A H U L U A N


A. Latar Belakang Permasalahan

Kejahatan adalah salah satu masalah yang dihadapi manusia. Kapan kejahatan muncul tidak diketahui dengan pasti, tetapi bentuk dan jenis kejahatan semakin berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Kejahatan menjadi sangat beragam, dari kejahatan yang dianggap ringan sampai dengan kejahatan yang dianggap serius. Salah satu kejahatan yang ramai dibicarakan saat ini dan seringkali mengawali tindak kejahatan yang lebih serius adalah kekerasan, baik kekerasan terhadap wanita, orang tua maupun anak-anak.
Kekerasan terhadap anak-anak dapat terjadi dimana saja, baik di jalanan maupun di rumah. Beradasarkan laporan yang ada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dari 1.325 kasus perkosaan maupun pelecehan seksual terhadap anak, sebanyak 625 kasus merupakan anak-anak yang yang menjadi korban di lingkungan rumahnya sendiri.[1] Dengan kenyataan ini, menepis anggapan bahwa anak-anak akan aman apabila berada di rumah.
Anak-anak merupakan individu yang beresiko untuk dijadikan korban kejahatan, karena pada usia ini pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara fisik maupun psikis belumlah matang. Anak menempati urutan pertama dalam 13 orang yang beresiko menjadi korban kejatan atau viktimisasu, yaitu :[2]
1. Anak-anak atau remaja;
2. Perempuan;
3. Orang berusia lanjut;
4. Orang dengan keterbelakangan mental;
5. Kaum imigran;
6. Kelompok minoritas;
7. Orang “normal” yang bodoh;
8. Orang yang depresi;
9. Orang yang berambisi (materi);
10. Orang yang ceroboh;
11. Orang yang kesepian dan patah hati;
12. Orang yang suka menyakiti orang lain;
13. Calon korban yang berusaha melarikan diri, calon korban yang melawan.


Kekerasan selain mempunyai keanekaragaman bentuk, juga tidak mengenal waktu, dan tempat juga dapat terjadi terhadap siapa saja, tidak terkecuali terhadap anak-anak yang tinggal dan hidup di jalanan yang dikenal sebagai anak jalanan. Data penelitian The American Humane Association (AHA) pada 26 wilayah di 10 negara bagian selama tahun 1979-1980 menunjukkkan 5,7 anak-anak per 1000 dibawah umur 18 tahun, mengalami kejahatan seksual atau tindak kekerasan emosional setiap tahun dan 5,7 anak per 1000 dibawah umur 18 tahun ditelantarkan.[3] Data ini belum termasuk adanya dark number.
Keberadaan anak-anak di jalanan merupakan salah satu bentuk usaha anak untuk menafkahi diri dan keluarganya dengan bekerja di jalanan baik sebagai pengamen, tukang parkir, penyemir sepatu, pemulung, timer bus kota ataupun pengemis. Keadaan ini kemudian memunculkan beberapa ciri fisik dan psikis yang dapat membedakan anak jalanan dengan anak lainnya, yaitu :[4]
1. Penampilan terlihat kusam (kotor) dan pada umumnya berpakaian tidak rapi;
2. Aktifitas di jalanan bergerak cepat;
3. Tingkat kemandirian tinggi;
4. Memiliki semangat hidup yang tinggi;
5. Banyak akal dan kreatif;
6. Tidak mudah tersinggung;
7. Terbuka dalam menyampaikan pendapat tentang sesuatu hal;
8. Penuh perhatian dalam menyatakan suatu hal.


Jalanan merupakan tempat kerja yang membahayakan anak-anak. Berbagai pengalaman buruk dapat dipastikan pernah dialami oleh anak jalanan. Di jalanan, mereka sering menjadi korban eksploitasi dan perlakuan salah dari orang dewasa. Kasus-kasus kekerasan yang mengerikan dan mencekam yang merendahkan martabat anak sebagai manusia atau bahkan bisa menghilangkan nyawa sering dialami oleh anak-anak jalanan. Namun demikian, meski kehidupan anak jalanan diketahui sangat buruk, jumlah anak jalanan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan berbagai sebab dan alasan.
Laurike Moeliono[5] dalam makalahnya tentang anak jalanan menyebutkan latar belakang dan penyebab anak di jalanan banyak didorong oleh multi faktor, yaitu kemiskinan, faktor keluarga, dan pengaruh lingkungan.
1. Fenomena Kemiskinan Ekonomi
Faktor ekonomi dan kemiskinan merupakan alasan terpenting yang menyebabkan munculnya anak jalanan dan pekerja anak. Kemiskinan menyebabkan anak-anak terpaksa dikerahkan atau mengerahkan tenaganya untuk mencari penghasilan tambahan keluarga atau justru mencari makan diluar rumah. Karena kemiskinan, anak-anak sudah dihadapkan pada tanggung jawab atau bekerja sedini mungkin
2. Faktor Keluarga
a. Orang tua tunggal, khususnya wanita sebagai kepala rumah tangga. Di Indonesia, tipe rumah tangga yang dikepalai wanita kurang menguntungkan dibandingkan keluarga yang dikepalai oleh pria. Keluarga yang dikepalai oleh wanita secara konsisten dalam berbagai penelitian menunjukkan huubungan yang positif dengan peningkatan partisipasi angkatan kerja anak.
b. Pengalaman atau kejadian traumatis dalam keluarga; orang tua sakit berkepanjangan, keluarga terlibat hutang/kredit, perkelahian dalam rumah tangga, perceraian dan lain-lain. Masalah dalam keluarga erat berkaitan dengan larinya anak dari rumah untuk kemudian membentuk “rumah baru” di jalanan. Anak lari ke jalan bukan hanya karena tekanan ekonomi, melainkan terlebih karena tekanan yang dihadapi anak dalam keluarga bermasalah.
c. Penyalahgunaan dan kekerasan terhadap anak; orang tua acapkali tanpa disadari melakukan tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga, demikian juga dilakukan oleh orang-orang yang dituakan seperti paman, bibi ataupun kakak. Penyakahgunaan kekerasan dilakukan dengan dali untuk mendidik anak menjadi lebih baik.
d. Pandangan terhadap nilai anak; hal ini umumnya dialami oleh anak-anak yang tinggal di desa, mereka sering tidak memiliki akses yang cukup terhadap pelayanan, sumber daya dan infrastruktur yang bisa membantu mereka mengembangkan seluruh potensi mereka. Sering karena kondisi ekonomi yang buruk, mereka harus lebih banyak bekerja dibandingkan belajar dan bermain.
3. Faktor lingkungan sebaya
Dari penelitian yang dilakukan DIA-YKAI terungkap bahwa 79% dari angka yang diteliti memperoleh akses menjadi anak jalanan di Jakarta melalui teman dan kerabat yang sudah lebih dahulu berada di Jakarta. Selanjutnya persebayaan berdasarkan kesamaan psikologis, kultur dan ekonomi mempersatukan mereka dalam simbol integratif “kultur anak jalanan” atau “street culture” yaitu pola perilaku khas anak jalanan berdasarkan orma-norma dan nilai-nilai sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain yang khas pada anak jalanan. Dalam menjalani kehidupan di jalanan, anak-anak hanya melihat dan belajar pola pikir dan tingkah laku dari orang-orang yang hidup bersamanya di jalanan dan cenderung menyesuaikan diri dengan pola pikir dan tingkah laku yang dikenalnya tersebut. Selanjutnya nilai-nilai dan norma yang mereka terima tersebut bertahan diantara sesama anak jalanan. selanjutnya anak-anak jalanan maupun masyarakat diluar mereka mengidentifikasikan jati diri mereka sesuai dengan nilai-nilai budaya jalanan tersebut.



Sulitnya mengetahui jumlah anak jalanan secara pasti dikarenakan tempat mereka berpindah-pindah dan juga tumpang tindih dengan masalah-masalah tentang anak lainnya. Pada tahun 1998, Menteri Sosial pada waktu itu menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah anak jalanan sekitar 400%. Perkiraan ini didasarkan pada perhitungan jumlah pengemis dan gelandangan yang digunakan untuk memperkirakan besar anggaran dalam melakukan intervensi.
Irwanto[6], berdasarkan konsultasi kepada sejumlah narasumber di Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Bandung, jumlah anak jalanan di kota-kota besar di Indonesia lebih dari 50.000. data tahun 2002, secara nasional jumlah anak jalanan sekitar 160.000 orang, anak terlantar usia 6-8 tahun 3.488.309 orang dan jumlah anak yang rawan terlantar 10.322.674 orang. Tahun 2003 jumlah anak jalanan, anak terlantar dan anak rawan terlantar meningkat. Di DKI Jakarta, anak jalanan meningkat 40 persen dari 9.000 menjadi 13.000 orang.[7]
Keberadaan anak jalanan ini telah banyak menimbulkan keprihatinan kita, karena anak-anak bukanlah individu yang seharusnya berada di jalanan. Anak-anak masih terlalu “lemah” untuk berada di lingkungan yang sangat “keras” seperti jalanan. Diakui atau tidak, jalanan merupakan tempat yang sering dijadikan sebagai tempat kejahatan. Keberadaan anak-anak di jalanan acapkali menjadi sasaran pelaku kejahatan. Bentuk kekerasan bermacam-macam mulai dari dikompas (dimintai uang), dipukuli, diperkosa, ataupun dirazia dan dijebloskan ke penjara. Namun, anak-anak itu sendiri juga berpotensi menjadi pelaku kekerasan atau tindak kriminal seperti mengompas teman-teman lain yang lebih lemah, pencurian kecil-kecilan, dan perdagangan obat-obat terlarang.[8] Anak-anak jalanan juga rawan terhadap kekerasan seksual. Menurut Firman (12), anak jalanan yang tinggal di Rawasari, ada saja yang menawari mereka agar mau disodomi. Mereka umumnya diiming-imingi uang Rp. 5.000.[9]
Monitoring PAJS (1997) di kawasan Tugu Muda – Semarang pada periode Juli-Desember 1996, mencatat dari 22 kasus kekerasan terhadap anak jalanan 19 kasus (86,3%) dilakukan oleh petugas keamanan (Kepolisian, Satpol, PP, dan TNI) yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka. Hal senada diungkapkan pula dalam laporan YDA (1997) yang menyatakan bahaya terbesar yang paling sering dialami anak jalanan adalah dikejar polisi dimana 91% anak yang pernah tertangkap mengaku mengalami penyiksaan.[10] Selain kasus kekerasan yang dialami secara personal, kekerasan terhadap komunitas juga kerap terjadi. Seperti kasus penyerangan dan pengrusakan rumah singgah di kawasan Lemah Gempal-Semarang pada tahun 1997 oleh sekelompok orang tak dikenal yang disusul dengan teror-teror terhadap anak jalanan.[11] Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir seluruh anak jalanan perempuan diketahui rentan menjadi korban eksploitasi seksual komersial yang meliputi prostitusi, perdagangan untuk tujuan komersial dan pornografi. Pada tahun 1997 YDA mencatat ada 8% anak jalanan di Semarang yang dilacurkan. Tahun berikutnya meningkat menjadi 28% dan meningkat lagi menjadi 46,4%.[12]
Kondisi diatas tentu saja menyebabkan anak berada dalam situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan dan jauh dari suasana kekeluargaan dan kenyamanan yang selayaknya dia miliki. Anak-anak yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok, yaitu:[13]
- Anak-anak di pedesaan;
- Anak-anak jalanan dan anak-anak yang tinggal di daerah kumuh perkotaan;
- Anak perempuan;
- Pekerja anak;
- Pelacuran anak;
- Anak-anak cacat;
- Anak-anak pengungsi dan tidak berkewarganegaraan;
- Anak-anak dalam penjara;
- Anak-anak korban kekerasan;


Pada hakekatnya, semua anak harus mendapat perlindungan tanpa terkecuali. Tapi terdapat kelompok anak tertentu yang kepada mereka perlu diberikan hak perlindungan khusus, termasuk didalamnya anak jalanan. Anak yang dimaksud sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Hak Anak sebagai berikut :[14]
1. Anak yang berada dalam keadaan darurat :
· Pengungsi anak
· Anak yang berada dalam konflik bersenjata
2. Anak yang berhadapan dengan hukum, yang menyangkut soal :
· Administrasi pengadilan anak
· Perenggutan kebebasan anak
· Penjatuhan hukuman terhadap anak
· Pemulihan kondisi fisik dan psikologis anak, termasuk reintegrasi sosial.
3. Anak dalam situasi eksploitasi yang meliputi :
· Eksploitasi ekonomi
· Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang
· Eksploitasi dan kekerasan seksual;
· Penjualan, perdagangan, dan penculikan anak
· Eksploitasi dalam bentuk lain
4. Anak-anak dari kelompok minoritas dan masyarakat adat.

Untuk menangani masalah ini dibutuhkan peranan dari semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat luas. Pemerintah diharapkan memberikan perhatian lebih terhadap anak-anak jalanan, begitu juga dengan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat maupun secara individu.
Wujud ataupun bentuk perhatian pemerintah/swasta terhadap anak jalanan salah satunya dengan adanya Rumah Singgah (center based), seperti yang dilakukan pada tahun 1997, Depsos dan UNDP bekerjasama dengan sejumlah LSM lokal di beberapa kota mendirikan rumah singgah. Ada rumah singgah yang menawarakan pendidikan pemberantasan buta huruf, kemampuan dasar, nutrisi, pra vokasional dan tempat istirahat ataupun pendidikan agama dan moral. Pendekatan berbasis jalanan (street center), yaitu pendekatam yang banyak dilakukan LSM, dan seringkali berdegesakan dengan pemerintah yang mau menarik anak-anak dari jalanan demi keindahan kota.
Pada kenyataannya rumah singgahpun bukan merupakan tempat yang aman bagi anak-anak jalanan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang menunjukkan bahwa kekerasan sendiri ternyata banyak bersumber dari rumah singgah tersebut. Kasus ini misalnya yang terjadi 3 Oktober 2003 di Semarang, dimana 14 anak diperkosa oleh oknum pengelola Rumah Singgah Harmonis – Semarang.[15]
Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Dari seluruh gambaran kehidupan anak-anak jalanan diatas, paling tidak dapat diambil kesan, bahwa masalah pengimplementasian hak-hak anak di masyarakat merupakan masalah yang cukup luas cakupannya. Diperlukan penanganan yang obyektif yang menyangkut kebijakan sosial di bidang anak dan kebijakan kesejahteraan anak serta kebijakan hak-hak anak di masyarakat, baik yang dilakukan melalui jalur hukum maupun jalur sosial.

B. Permasalahan

Anak-anak pada umumnya digambarkan sebagai kelompok usia muda yang sangat dekat dengan kegembiraan, permainan, tanpa beban, dan tanpa masalah. Namun pada kenyataannya, tidak semua anak-anak mengalami hal itu. Tidak semua anak-anak mengalami masa-masa indah, sebagian dari mereka harus dibebani dengan pekerjaan membantu orang tua mencari nafkah.
Anak-anak yang berada di jalanan mempunyai resiko tinggi untuk dijadikan atau mengalami kekerasan dari orang-orang dewasa yang juga berada di jalanan sebab jalanan bukanlah tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak, apapun alasannya.
Anak jalanan merupakan fenomena tersendiri, diantara masalah mengenai anak lainnya. Permasalahan anak jalanan menjadi kompleks ketika mereka secara hukum dan sosial belum layak bekerja namun “terpaksa” bekerja di jalanan kemudian mengalami berbagai macam bentuk kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual.
Walaupun secara umum, sebagian besar anak-anak di Indonesia telah terpenuhi kebutuhan dasarnya, seperti pendidikan, kesehatan dan sosial, namun masih banyak anak-anak yang belum memperoleh kesempatan yang luas untuk tumbuh dan berkembang wajar sesuai dengan yang diharapkan. Secara ringkas, permasalahan-permasalahan yang dialami anak Indonesia diantaranya meliputi :[16]
1. Kemiskinan dan kerawanan sosial ekonomi, yang mengakibatkan anak-anak mengalami kekurangan gizi (kalori, protein, yodium, vitamin A, dll), busung lapar dan terhambatnya perkembangan psiko-sosial anak;
2. Ketelantaran, yang mengakibatkan kurang/tidak terpenuhinya dan terjaminnya kebutuhan dasar anak sehingga kelangsungan hidup, serta tumbuh kembang anak menjadi terganggu;
3. Perlakuan salah atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang tua, anggota keluarga dan masyarakat;
4. Eksploitasi ekonomi dalam dunia kerja yang dilakukan oleh orang dewasa, seperti eksploitasi anak-anak oleh orang tua/keluarga/masyarakat sebagai sumber penghasilan dengan tidak melindungi hak-haknya (disuruh mengemis, dijual, dijadikan sumber bisnis keluarga secara tidak wajar/berlebihan);
5. Perlakuan diskriminatif karena perbedaan gender, agama, warna kulit, etnis, status sosial, ekonomi, politik, dsb;
6. Berada dalam situasi krisis dan membahayakan kelangsungan hidup anak, serta hak-haknya rawan tidak terlindungi, seperti berada terus menerus di jalanan, adanya kerusuhan sosial, tindak kejahatan, perang antar suku, perang antar negara, dsb;
7. berada dalam lingkungan yang tidak layak huni baik fisik maupun sosial seperti daerah pemukiman kumuh, daerah pemukiman tuna sosial, daerah yang terisolasi/terasing, dsb;
8. Mengalami cacat fisik dan mental, yang dialami sejak lahir atau karena kecelakaan (bawaan dan bukan bawaan);
9. Berada dalam situasi keluarga retak/pecah (disorganisasi keluarga);
10. Berada dalam lingkungan keluarga yang mengalami masalah sosial psikologis : keluarga yang mengalami aib, dampak dari penderitaan (HIV/AIDS), penyakit mental (jiwa), depresi dan bunuh diri.

Berdasarkan uraian diatas, maka pertanyaan penulisan dalam tulisan ini adalah :
“Bagaimana gambaran praktek kekerasan yang dialami oleh anak jalanan (Analisa satu kasus kekerasan terhadap anak jalanan di Stasiun Jatinegara)?”

C. Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana praktek kekerasan yang dialami oleh anak jalanan yang dilakukan baik oleh sesama anak jalanan ataupun orang lain. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat diketahui faktor penyebab terjadinya praktek kekerasan terhadap anak jalanan.

D. Signifikansi Penulisan

Kekerasan yang terjadi terhadap anak jalanan baik secara fisik, psikis dan seksual adalah suatu kenyataan yang tidak dapat kita tutup-tutupi lagi. Sehingga tulisan ini kiranya dapat memberikan sumbangan terhadap arah kebijakan terhadap anak jalanan, sehingga kekerasan terhadap anak jalanan ini dapat diminimalisir dan diperhatikan penanganannya secara lebih serius lagi.

E. Metode Penulisan
Penulisan dalam tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif, sedangkan tipe penelitian yang digunakan adalah deskripstif, dimana tujuan dari tipe penelitian deskriptif adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai mengenai faktor, sifat serta hubungan-hubungan antar fenomena yang diselidiki.[17] Dengan demikian penulis berusaha untuk menggambarkan secara sistematis kekerasan terhadap anak jalanan termasuk mengenai faktor-faktor penyebab kekerasan dan bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi.
Penelitian deskriptif dilakukan melalui analisa kasus terhadap satu orang anak jalanan yang berada dan melakukan kegiatannya di Stasiun Jatinegara. Data diperoleh dengan menggunakan metode wawancara mendalam berstruktur terhadap obyek penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara. Untuk menunjang data yang akurat penulis melakukan studi kepustakaan.



F. Sistematika Penulisan

Penulisan karya akhir ini terbagi dalam 5 bab, sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas tentang latar belakang permasalahan, permasalahan, tujuan penulisan, signifikansi penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : KERANGKA PEMIKIRAN
Bab ini akan memberikan teori-teori yang berkaitan dengan kekerasan dan defisi yang relevan terhadap obyek penulisan.
BAB III : DESKRIPSI KASUS
Dalam bab ini akan memberikan gambaran tentang kasus yaitu kekerasan terhadap anak jalanan di Stasiun Jatinegara.
BAB IV : ANALISA KASUS
Dalam bab ini gambaran yang diperoleh dari bab sebelumnya akan dianalisa. Pembahasan yang dilakukan mencakup analisa bagaimana tindak kekerasan dapat terjadi terhadap anak jalanan serta bentu-bentuk kekerasan yang dialami, dikaitkan dengan kehidupan sosial anak jalanan.


BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menyimpulkan hasil penulisan dan hasil analisa yang dipaparkan dalam bab sebelumnya, sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu solusi bagi permasalahan dalam tulisan ini.















[1] Redaksi, “Mereka Yang Telantar”, Republika, 04 Juli 2003,
[2] Von Hentig, “The Criminal and His Victim; Studies in Sociology of Crime”, New Haven, Conn., Yale University Press, 1948.
[3] Kenneth E. Moyer, “Violence”, Encyclopedia of Crime and Justice, New York, The Free Press, 1983, hal 1618.
[4] Makmur Sunusi, “Beberapa Temuan Lapangan Survey Anak Jalanan dan Rencana Penanganannya di DKI Jakarta dan Surabaya”, Departemen Sosial RI dan UNDP, Jakarta 1996.
[5] Laurike Moeliono, “Anak Jalanan ; Antara Kerentanan dan Ketahanan (sisi lain fenomena sosial Jakarta)”, Makalah pada seminar dalam rangka Hari Anak Nasional 1997, yang diselenggarakan oleh PMKRI dan Bellarminus, 22 Juli 1997.
[6] Irwanto, “Anak Yang Membutuhkan Perlinduungan Khusus di Indonesia : Analisis Situasi”, PPKM Unika Atmajaya Jakarta, Departemen Sosial, UNICEF, Jakarta, 1999.
[7] Redaksi, “Kemiskinan, Penyebab UtamaMunculnya Anak Jalanan”, Suara Karya, 04 Oktober 2003.
[8] Ibid.,
[9] Redaksi, “Lomba Ekspresi Anak Jalanan : Dari Wajib Setor Hingga Tawaran Sodomi”, Suara Pembaruan, 17 September 2003.
[10] Gunawan Permadi dan Nila Ardhianie (Ed), “Anak Jalanan : Di Pengasingan Harapan”, Yayasan Duta Awam, Semarang, 1997
[11] Info Jalanan, edisi khusus, September 1997
[12] Shalahudiin (eD.), “Rekaman Dialog Yayasan Setara Yayasan dengan Pemda, Poltabes, dan DPRD Kotamadya Semarang”, Yayasan Setara, Semarang, 2000.
[13] “Apa Sebenarnya yang menjadi Permasalahan dalam Dunia Anak?”, http://www.sekitarkita.com/okt02/faqanak.htm

[14] Hak-hak ini sebagaimana yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989, pasal 22, 30, 32-36, 37(b)-(d), 38, dan 39.

[15] Redaksi, “Berlanjut, Kekerasan Seksual Terhadap Anak Jalanan”, KOMPAS, 3 Oktober 2003.
[16] Departemen Sosial RI, “Keluarga dan Lanjut Usia, Anak, Pedoman Perlindungan Anak,” Direktorat Jenderal Kesejahteraan Anak, Jakarta, 1999, hal 15.
[17] Muh. Natsir, “Metode Penelitian”, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988, hal 63.

Profile Lapas Klas IIA Salemba (Part I)

Selayang Pandang Lapas Klas IIA Salemba

Terbentuknya Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Salemba adalah atas desakan Menteri Hukum dan HAM RI – Andi Matalata, SH, MH – ketika pencanangan Program BUTER (Bulan Tertib) PAS dimana pada saat itu beliau melihat bahwa permasalahan UPT PAS telah mencapai tingkatan yang sangat kompeks yaitu masalah overload penghuni. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh pihak Ditjen PAS adalah segera mengaktifkan operasionalisasi Lapas Salemba dan Rutan Cipinang. Dalam kesempatan yang sama, bapak Menteri juga menegaskan alternatif lain untuk mengatasi kompleksitas permasalahan tersebut adalah dengan peningkatan kinerja dari UPT PAS tersebut (secara umum UPT di wilayah DKI dan Lapas Salemba khususnya).

Menindaklanjuti hal tersebut, pihak Kanwil DKI Jakarta meresponnya dengan melantik para pejabat struktural eselon V dan IV Lapas Salemba pada tanggal 15 Februari 2008 di Kanwil DKI Jakarta. Secara umum, Ka. Kanwil memberikan amanat bahwa berfungsinya Lapas Salemba bukan berarti hanya mengatasi permasalahan over kapasitas saja namun juga diiringi dengan penertiban dan pencitraan positif terhadap kinerja UPT Pemasyarakatan yang lebih ditujukan pada pola kerja dan mekanisme yang sesuai dengan peraturan berlaku, sehingga diharapkan Lapas Salemba dapat menjadi proyek percontohan (pilot project) dalam rangka pembenahan internal di bidang Pemasyarakatan.

Pada saat pertama kali beroperasional, petugas yang ada hanya Kepala UPT dan para pejabat.struktural, karena keadaan pegawai masih tersebar di beberapa UPT PAS DKI Jakarta dengan status diperbantukan. Oleh karena itu, pihak Lapas berupaya untuk melakukan pemanggilan terhadap CPNS yang tersebar di UPT Pemasyarakatan lainnya di wilayah DKI Jakarta untuk melaksanakan tugas di Lapas Salemba. Adapun para pegawai yang dipindahtugaskan di Lapas Salemba adalah sebanyak 70 orang CPNS golongan II/a ditambah 4 orang alumni AKIP Angkatan XXXVIII yang sedang melaksanakan tugas belajar di Jakarta. Melihat kondisi SDM yang sedemikian rupa, pihak Lapas Salemba memandang perlunya dilakukan pembekalan terhadap petugas dengan tujuan membentuk sosok petugas Pemasyarakatan yang tegas, siap mental dan tanggap dalam melaksanakan tugasnya.

Kondisi bangunan Lapas Salemba yang ada saat ini hanya 1 unit gedung kantor eks. Rutan Klas I Jakarta Pusat dan gedung baru Lapas Salemba yang terdiri dari 1 blok hunian dan 1 bangunan yang difungsikan sebagai dapur, 1 pos Ka.Rupam, 1 unit ruang kunjungan, dan 1 unit ruang P2U. Dapat kami sampaikan pula bahwa dapur Lapas Salemba sudah berfungsi melayani menu makanan bagi WBP sejak tanggal 07 April 2008. Adapun kapasitas blok hunian WBP terdiri dari 3 lantai dengan jumlah kamar 32 buah yang terdapat di lantai 2 dan lantai 3, sedangkan lantai 1difungsikan sementara sebagai operasional kantor.
Upaya konkret yang telah dilaksanakan di Lapas Salemba dalam mendukung sosialisasi Bulan Tertib Pemasyarakatan adalah penerapan kebijakan Bebas Peredaran Uang (BPU) dan larangan membawa handphone bagi WBP di dalam Lapas, penertiban melalui himbauan dan pengumuman (sosialisasi) kepada masyarakat luas secara transparan dalam rangka penciptaan good government (tertib pembinaan dan pengamanan), peningkatan pelayanan terhadap hak dan kewajiban bagi WBP baik perawatan kesehatan, makanan, kunjungan maupun kebutuhan dasar lainnya, serta pembinaan kepada petugas CPNS dalam rangka pembekalan sumber daya manusia sebelum melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
Sementara itu, guna menanggulangi keterbatasan perlengkapan maupun perangkat perkantoran, telah diupayakan kepada pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk memenuhi kebutuhan operasional, dintaranya adalah :
1. Pengadaan Buku-buku Register dan Telram
2. Pengadaan Blanko (formulir) pendukung tugas pokok dan fungsi pembinaan di Lapas Salemba
3. Mengajukan permohonan alat-alat perlengkapan dapur Lapas dan perlengkapan bagi WBP.

Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kinerja Lapas Salemba, antara lain adalah :
1. Membuat alur / mekanisme prosedur tetap dalam setiap bentuk pelayanan terhadap WBP dalam rangka penerapan Tertib Pemasyarakatan
2. Menggiatkan pembinaan luar Lembaga dalam bentuk integrasi WBP di masyarakat seperti program Asimilasi, Cuti Bersyarat, Pembebasan Bersyarat, maupun Cuti Menjelang Bebas.
3. Membentuk koperasi pegawai, guna mendukung penerapan kebijakan Bebas Peredaran Uang (berupa buku tabungan untuk keperluan belanja WBP) sekaligus untuk mencegah munculnya warung-warung liar di dalam Lapas serta pengadaan Wartel (warung telepon) Khusus sebanyak 8 KBU (kotak bicara umum) sebagai subtitusi bagi WBP akiibat larangan beredarnya handphone di dalam Lapas.
4. Inventarisasi kebutuhan operasional Lapas lainnya.

Dalam rangka mempersiapkan ketrampilan bagi petugas Lapas, telah dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1. Training job bagi 4 orang petugas dapur yang meliputi pelatihan di Lapas Narkotika Cipinang sebagai latihan pengelolaan dapur Lapas
2. Observasi bagi tenaga medis Lapas Salemba ke Rutan Salemba dalam rangka studi banding perihal perawatan kesehatan WBPdan pengelolaan Poliklinik Lapas
3. Pengarahan dan pembekalan bagi staf Lapas (dalam rangka menerapkan prosedur pelayanan prima terhadap WBP sesuai dengan Prosedur Tetap Pemasyarakatan)
4. Menjajaki kerja sama dengan pihak luar (LSM) dan instansi terkait dalam rangka penanganan permasalahan yang bersifat insidentil di Lapas. Contoh : MOU dengan RS. Polri
5. Membentuk Satuan Regu Pengamanan dan P2U (Pengamanan Pintu Utama) guna pelaksanaan teknis pengamanan Lapas Salemba.
Walaupun, operasional Lapas Salemba diresmikan pada tanggal 27 April 2008 oleh Menkumham RI melalui penandatanganan prasasti di Lapas Klas I Tangerang dalam acara peringatan Hari Bhakti Pemasyarakatan ke-43, namun secara resmi Lapas Salemba telah menerima narapidana pada tanggal 01 April 2008 sebanyak 25 orang (pindahan dari Rutan Jakarta Pusat). Sejak saat itu, kegiatan penerimaan ini dilaksanakan secara periodik dan bertahap pada setiap hari Senin dan Kamis. Sampai dengan tanggal 01 Juli 2008 jumlah narapidana di Lapas Salemba adalah sebanyak 456 orang, dengan kegiatan-kegiatan yang telah berjalan sebagai berikut :
1. Mapenaling bagi WBP selama + 2 minggu
2. Pembinaan Kerohanian (kegiatan rohani Islam dan Kristen)
3. Sidang TPP secara aktif dilaksanakan guna pemantauan dan pengawasan WBP
4. Peningkatan kerjasama dengan pihak lain (Yaysan Pelita Ilmu) dalam rangka penanggulangan HIV AIDS
5. Pengiriman kontingen narapidana ke ajang Pekan Olah Raga dan Seni Narapidana (PORSENAP) di Lapas Klas Cipinang pada tanggal 12 – 15 Mei 2008
6. Tertib pelaporan secara periodik dengan instansi terkait (Ditjen PAS dan Kanwil DKI Jakarta) mengenai Laporan Bulanan, Triwulan dan Tahunan
7. Pembinaan Kemandirian berupa kegiatan kerja pertamanan, sablon, barber shop, jahit, pengolahan nasi aking, kerajinan tangan dengan bahan dasar kertas koran dan kardus. Beberapa kegiatan latihan kerja tersebut baru sekedar penjajakan ke arah yang produktif mengingat keterbatasan fasilitas dan kemampuan WBP yang masih memerlukan pelatihan lebih lanjut.
Dengan upaya dan kegiatan yang telah dilaksanakan di Lapas Salemba, diharapkan mampu membagun kembali citra positif bagi UPT Pemasyarakatan yang akhir-akhir ini cenderung memperoleh penilaian negatif di mata masyarakat luas.
Motto Lapas Salemba :
~ Mekipun pahit yang kita rasakan sekarang.........
namun, cita-cita Pemasyarakatan tetap harus kita raih ~
~ Mulailah dari dirimu sendiri………..
dalam memulai sebuah perubahan kea rah yang positif ~
~ Berpikir bersama, bekerja bersama, dan berjalan bersama
untuk menghadapi tantangan tugas ke depan ~
~ Dengan berpijak pada 3 pilar kebersamaan itu………
akan menumbuhkembangkan solusi kebersamaan kolektif dengan senantiasa meningkatkan attitude, skills dan knowledge,
menuju profesionalisme Petugas Pemasyarakatan sejati ~


Oleh : Punggawa Lapas Salemba

Rabu, 24 Desember 2008

Idul Qurban




Sederhana tapi penuh makna, itulah perayaan idul adha di Lapas Klas IIA Salemba di tahun 2008...walau hanya terdapat 1 ekor sapi dan 4 ekor kambing, perayaan qurban tetap menjadikan koreksi diri untuk menjadi lebih baik.

Minggu, 21 Desember 2008

Hak berkomunikasi dgn pihak luar

kalau selama ini banyak isu kalau narapidana menggunakan handphone untuk mengendalikan peredaran narkoba dari dalam lapas, maka jawabannya adalah menyediakan sarana telekomunikasi yang resmi, tidak melanggar hak mereka sebagai narapidana tapi juga tetap dikontrol dan diawasi. inilah wujudnya Wartel'Sus (Wartel Khusus) Lapas.