BERJUANG TANPA LELAH---CIPTAKAN RUANG PASAR TANPA PESAING DAN BIARKAN KOMPETISI TAK LAGI RELEVAN (KIM & MAUBORGNE)"

Senin, 23 Maret 2009

Jurnal Pemuda Indonesia: Beli “Kamar” di Dalam Penjara

Jurnal Pemuda Indonesia: Beli “Kamar” di Dalam Penjara

Hak Narapidana atas Fasilitas di Lapas



--> -->HAK NARAPIDANA ATAS FASILITAS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN
Sistem Pemasyarakatan berasumsi bahwa narapidana bukan saja obyek melainkan subyek. Sebagai manusia yang tidak berbeda dari manusia lainnya maka sewaktu-waktu ia dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Tujuan penegakan hukum adalah meliputi : pertama; menciptakan ketertiban umum, kedua; mencari kebenaran dan keadilan, dan ketiga; menegakkan hak asasi manusia. Wujud menagakkan hak asasi manusia bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan adalah dengan pemenuhan hak atas fasilitas makanan dan pelayanan kesehatan yang layak bagi narapidana.
Dalam penelitian ini ada dua pertanyaan penelitian yang hendak dijawab yaitu Bagaimana pelaksanaan pemenuhan hak narapidana atas fasilitas makanan dan pelayanan kesehatan yang layak di lembaga pemasyarakatan dihubungkan dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan serta Bagaimana tanggung jawab lembaga pemasyarakatan dengan tidak terpenuhinya hak atas fasilitas makanan dan pelayanan kesehatan yang layak bagi narapidana tersebut. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis, teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan wawancara, sementara lokasi penelitian adalah Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Jakarta.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pelaksanaan pemenuhan hak atas fasilitas makanan dan pelayanan kesehatan yang layak di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Jakarta secara formal terlaksana sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga yang melakukan pembinaan terhadap narapidana. Secara substansial hak fasilitas atas makanan dan pelayanan kesehatan tidak terlaksana secara optimal. Indikatornya adalah jumlah anggaran makan yang tersedia sudah tidak mencukupi lagi karena jumlah penghuni lembaga yang melebihi kapasitas, mutu dan kualitas makanan menurun dan pada akhirnya banyak narapidana yang tidak makan makanan yang disediakan pihak lapas, makanan diolah kembali untuk menikmati rasa yang lebih nikmat atau membeli makanan dari luar lembaga. Pelayanan kesehatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Jakarta diselenggarakan dengan program Rehabilitasi Terpadu atau One Stop Center yaitu rehabilitasi medis dan sosial dalam satu atap. Masalah klasik pelayanan kesehatan juga dialami Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Jakarta, yaitu prosedur berobat yang rumit, prosedur rujukan ke Rumah Sakit luar lapas yang membutuhkan waktu yang lama hingga minimnya anggaran kesehatan yang disediakan negara. Pemenuhan hak atas fasilitas makanan dan kesehatan yang layak seharusnya bukan menjadi masalah yang berarti untuk kondisi saat ini. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai institusi yang membawahi Unit pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan seharusnya mampu memberikan dorongan dan masukan kepada pemerintah dan lembaga eksekutif untuk menaikkan anggaran makan dan kesehatan narapidana selain anggaran peningkatan kesejahteraan bagi petugas pemasyarakatan itu sendiri.

English Version :

-->
Correctional system assume that prisoners are not only objects but subjects. As a man who is not different from other people during the time he can make a mistake or a mistake that could be criminal, so do not be avoided. That must be removed are the factors that may cause prisoners do things contrary to law, morality, religion, or social obligations that may be subject to criminal. Law enforcement is the goal include the following: first, to create public order, second; seek truth and justice, and third; uphold human rights. Existent uphold human rights for prisoners at the correctional facility is the fulfillment of the right to food facilities and services for the health of eligible prisoners.
In this research, two research questions that would be the implementation of rights How prisoners over food facilities and health services are feasible in the correctional facility associated with the Law No. 12 of 1995 and How correctional facility responsibility penitentiary not implemented with the right to food facilities and health services for prisoners who are eligible. The method used is a method of research to the legal normative juridical approach, techniques of collecting data through the study of literature and interviews, while the location of the research is penitentiary Klas IIA drug addict Jakarta.
Based on the results of research they found that the implementation of the right to food facilities and health services are feasible in the correctional facility Klas IIA drug addict Jakarta formally done in accordance with the duties and functions as the principal institution for the conduct of the prisoners.Substantially above the right facilities and services in health food is not done optimally. The indicator is the amount of available food budget is no longer sufficient because of the number of institutions that exceed the capacity, quality and decrease the quality of food and in the end a lot of prisoners who do not eat the food provided lapas, processed foods back to enjoy the delicious taste or buy food from outside the institution.Health services in the correctional facility Klas IIA Jakarta drug addict rehabilitation program was organized with the Integrated One Stop Center or the medical and social rehabilitation in one roof. Classical problems of health services also experienced the penitentiary Klas IIA Jakarta drug addict, the treatment of complicated procedures, the procedure leads to the hospital outside that requires a long time to inadequate health budget provided country.Fulfilling the rights to food and health facilities are eligible should not be a problem which means that for current conditions. Directorate General Correctional as the institutions that supervise implementation Technical Unit (UPT) Correctional should be able to provide encouragement and input to the government and executive institutions to increase the food budget and health prisoners than the budget increase for welfare correctional officers itself.

Dalam Dilema


"Antara Teori dan Praktek, Pertempuran yang tak kunjung usai...."
Catatan hari pertama kerja setelah cuti panjang...


Euforia beasiswa S1 maupun S2 bahkan sekarang S3 di lingkungan depkumham dimanfaatkan dengan sangat baik oleh insan pemasyarakatan untuk menimba ilmu, meningkatkan pengetahuan dan wawasan secara ilmiah dan teoritis di perguruan tinggi yang bonafide pula. tercatat Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran adalah dua universitas negeri terkemuka di negeri ini yang menjalin kerjasama dalam peningkatan SDM Pemasyarakatan.

harapannya tentu saja dengan "disekolahkan" lagi, kompetensi SMD petugas mengalami peningkatan sehingga mampu untuk paling tidak mengurangi kolusi antara petugas dan narapidana, mengikis tips-tips tak bermanfaat yang merusak citra pemasyarakatan dan yang lebih penting adalah kompetensinya tidak kalah dengan aparatur lain dalam jajaran penegak hukum lainnya.

tapi ternyata mengaplikasikan apa yang dipelajari di bangku kuliah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan apalagi mengucapkannya. banyak yang pada akhirnya kalah dengan "sub culture" penjara yang telah mengakar dan pada akhirnya embel2 S2-nya hanyalah pelengkap untuk naik jabatan dan gengsi semata.

praktek di lapangan acapkali bahwa petugas yang nyata-nyata mengakomodir kepentingan narapidana untuk melanggar aturan malah dianggap "berhasil", dipuja bahkan dianggap memberikan kontribusi bagi kantor. tetapi ketika seorang petugas hendak menegakkan aturan yang menjadi kesepakatan umum harus ditaati malah dianggap "mengancam" keselamatan "finansial" bagi beberapa petugas tertentu. jadilah petugas tersebut "dipantau" terus gerak-geriknya layaknya seorang teroris yang harus diawasi dengan dalih "pembinaan personil". sungguh malang nasibnya.., kalau sudah begitu bagaimana petugas2 lain yang memiliki semangat integritas yang sama mau ikutan membangun dan memajukan dunia pemasyarakatan?...sementara tantangan itu sendiri datangnya dari sistem internal kita sendiri.., petugas harus "fight" dengan "kebijakan" yang seharusnya memang sudah dibumi hanguskan dalam2 ke bumi...tapi ternyata sekamnya masih bertebaran dimana-mana dan panasnya malah menyebar kemana-kemana tanpa kelihatan oleh mata awam...

salam "bravo" buat petugas yang konsisten menerapkan aturan di lapas, terus berjuang..

Minggu, 01 Maret 2009

Ombudsman Pemasyarakatan


PEMIKIRAN KEBERADAAN LEMBAGA OMBUDSMAN PEMASYARAKATAN DI INDONESIA

1. Pendahuluan
Istilah ombudsman sebenarnya telah dikenal lama dalam dunia hukum, meskipun dalam system peradilan pidana ombudsman tidak termasuk didalamnya. Ombudsman di artikan sebagai lembaga pengaduan. Di dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia lembaga ombudsman belum ada. Pelaksanaan pengawasan Pemasyarakatan yang berkaitan dengan pemidanaan menurut KUHAP dilaksanakan oleh Hakim Pengawasan dan Pengamatan (Hakim Wasmat). Namun pelaksanaannya belum dapat dikatakan optimal karena seperti dalam prakteknya setelah terpidana ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan tanggung jawab sepenuhnya diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan sebagai proses akhir peradilan pidana.
Sedangkan dalam bidang pengawasan terhadap kinerja pegawai Lembaga Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM RI mempunyai Inspektorat Jendral Pemasyarakatan (Irjen Pas). Lembaga ini bertugas mengawasi pelaksanaan tugas sehari-hari pegawai di jajaran Pemasyarakatan. Terhadap pegawai yang melakukan pelanggaran, Irjen Pas berkewajiban memberikan sanksi terhadapnya. Sampai saat ini lembaga Irjen Pas juga belum dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Di dalam Lembaga Pemasyarakatan sendiri ada Tim Pengamat Pemasyarakatan yang anggotanya terdiri dari Pejabat Struktural di Lembaga Pemasyarakatan, namun tim ini bertugas hanya sebatas untuk memberikan penilaian dan pertimbangan terhadap perilaku narapidana tidak terhadap pegawai atau Petugas Pemasyarakatan.
Sebagai lembaga baru, nantinya Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan diharapkan dapat menjadi penengah sekaligus perantara diantara para pihak yang berkepentingan dalam dunia pemasyarakatan, baik itu narapaidana, Petugas Pemasyarakatan, Direktorat Jendral Pemasyarakatan, maupun pihak-pihak lain yang bertujuan untuk kepentingan pengembangan Pemasyarakatan. Untuk itu anggota Lembaga ini harus diisi oleh orang-orang professional yang tahu, paham, dan peduli terhadap Pemasyarakatan, baik itu akademisi maupun birokrasi.

2. Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan

Sampai saat ini Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan di Indonesia masih merupakan impian karena keberadaannya belum direalisasikan. Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan mungkin nantinya dapat dijadikan sebagai perangkat yang dapat melengkapi kinerja dibidang Pemasyarakatan. Diharapkan Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan nantinya menjadi suatu tempat menampung pengaduan-pengaduan baik dari narapidana maupun Petugas Pemasyarakatan. Lembaga Ombudsman dapat memperkenalkan suatu standar yang dapt dijadikan ukuran untuk mencapai kinerja kompetensi Pemasyarakatan yang efektif dan mempunyai sasaran keadilan. Setiap adanya permasalahan yang menyangkut kebutuhan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan maupun keluhan-keluhan yang dialami petugas Pemasyarakatan nantinya dapat ditampung dalam lembaga ini. Apakah Lembaga Pemasyarakatan sudah memenuhi sistem standar pemasyarakatan, apakah sudah efektif Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat pelaksanaan pemidanaan, Lembaga Ombudsmanlah yang akan memberikan penilaian.
Selain itu Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan yang keberadaannya independent, nantinya diharapkan dapat melindungi kepentingan narapidana dan Petugas Pemasyarakatan dari masalah-masalah yang timbul baik dari dalam maupun dari luar Lembaga Pemasyatarakatan sehingga dapat dijadikan tempat alternative sekaligus mediator penyelesaian masalah.
Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan yang keberadaannya di luar Departemen Hukum dan HAM, nantinya keberadaannya harus bisa menjadi suatu lembaga yang yang menjembatani hubungan antara narapidana dengan Petugas Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan. Meskipun dibiayai oleh Negara, lembaga ini harus dapat menjaga kerjasama maupun kredibilitas antara keduanya. Lembaga Ombudsman Pemasyarkatan diharapkan mampu menganalisa dan menyelesaikan permasalahan yang timbul di Lembaga Pemasyarakatan dengan mengembangkan system standar kerja yang professional. Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan harus mampu memberikan solusi sekaligus membuat laporan sebagai evaluasi terhadap kinerja Petugas Pemasyarakatan. Untuk itu Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan harus aktif dan penuh inisiatif terhadap kondisi yang ada di Lembaga Pemasyarakatan.
Secara personal Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan akan melayani dan menghubungi pihak yang mempunyai permasalahan, kemudian menggalinya dengan lebih detail dan harus meyakinkan para pihak untuk menindaklanjutinya untuk mendapatkan penyelesaian sekaligus perbaikan. Setiap persoalan yang ada akan diproses dan hasilnya harus dilaporkan kepada atasan baik itu Kalapas, dan pihak-pihak terkait seperti Dirjend. Pemasyarakatan maupun pihak pelapor yang bersangkutan.


3. Keluhan Petugas Pemasyarakatan

Petugas Pemasyarakatan sebagai abdi Negara banyak mengalami keluhan terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan yang sampai saat masih dirasakan jauh dari yang diharapkan. Gaji pegawai yang masih rendah memungkinkan pegawai seringkali melakukan hubungan atau interaksi dengan narapidana dengan mengadakan hubungan saling menguntungkan diantara keduanya, seperti sebagai perantara narapidana dengan keluarganya, atau dengan pihak lain seperti pengadilan dan kejaksaan. Terkadang tanpa disadari hubungan ini sampai melebihi batas yang tidak menutup kemungkinan berhadapan atau bersinggungan dengan pelanggaran hukum. Memang ini alasan klasik yang ujung-ujungnya berkaitan dengan urusan perut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Untuk itu tantangan bagi Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan untuk menjembatani antara dengan pegawai dengan Negara agar senantiasa memperhatikan kesejahteraan petugas Pemasyarakatan agar para pegawai dapat menjalankan pekerjaannya dengan tenang dan menjauhi hal-hal yang dilarang seperti mengedarkan narkoba, menyewakan alat komunikasi televisi dan telepon genggam.
Sumber daya manusia, sarana dan prasana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan dewasa ini masih jauh dari standar, padahal resiko yang ditanggung oleh Petugas Pemasyarakatan sangatlah berat. Petugas Pemasyarakatan tidak hanya menjaga keamanana dan ketertiban di dalam Lembaga Pemasyarakatan agar dapat terjaga kondisi yang kondusif, mereka juga bertanggung jawab melakukan pembinaan dan perawatan terhadap narapidana sehingga mereka setelah kembali ke masyarakat memiliki ketrampilan dan keahlian sehingga tidak mengulangi kejahatannya lagi. Hal ini perlu dipertimbangkan oleh Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan agar Petugas Pemasyarakatan dapat bekerja secara professional.

4. Keluhan Narapidana

Narapidana sebagai terhukum memang terlihat mempunyai posisi yang jauh dibawah Petugas Pemasyarakatan. Banyak hak-hak narapidana yang tidak dipenuhi. Yang jelas terlihat misalnya dalam pemenuhan makanan bagi narapidana. Mereka mendapatkan makanan dengan kandungan gizi yang sangat rendah, bisa dibayangkan dengan jatah makan dibawah Rp. 7.000.,- untuk tiga kali/hari.
Sebagai terpidana, pelayanan dalam semua bidang yang mereka terima selama menjalani pidana di Lembaga Pemasyarkatan sangat jauh dari harapan, baik itu pelayanan kesehatan, jaminan keamanan, pelaksanaan program pembinaan dan lain lain sangat bersifat terbatas. Belum lagi mereka harus mengeluarkan uang ekstra agar mendapat kemudahan yang sebenarnya merupakan haknya, seperti biaya kalau dibezuk oleh keluarganya, uang untuk menahan kamar agar tidak dipindahkan ke blok lain, maupun besarnya biaya administrasi pengurusan pogram Pembebasan Bersyarat (PB), ijin Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), dan lain-lain program asimilasi.
Banyak pungutan dari Petugas Pemasyarakatan yang dibebankan terhadap narapidana yang terkadang dilakukan dengan pemaksaan dan ancaman, membuat narapidana semakin tertekan dan mengganggu psikologis diri narapidana. Sehingga terkadang ada pendapat, hidup dipenjara itu mahal, lebih mahal dari pada di luar, sehingga memungkinkan narapidana untuk berbuat apa saja yang penting bisa mempertahankan hidup.

5. Keberadaan Positif Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan
A. Bagi Petugas Pemasyarakatan
Dengan adanya Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan diharapkan dapat menjadi tempat berkeluh-kesah bagi Petugas Pemasyarakatan yang berkaitan dengan kesejahteraan yang telah diterima selama ini. Lembaga ini menampung aspirasi Petugas Pemasyarakatan kemudian menyalurkannya kepada pihak-paihak yang berwenang untuk ditindak lanjuti seperti Direktorat Jendral Pemasyarakatan maupun lembaga legislatif untuk mendapatkan pemecahan sebagai jalan terbaik untuk meningkatkan kondisi ekonomi Petugas Pemasyarakatan.
Keberadaan Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan memang sangat diperlukan dan ditunggu-tunggu di Negara yang mengakui dirinya sebagai Negara demokrasi. Untuk dapat melayani narapidana sebagai Klien Pemasyarakatan, Petugas Pemasyarakatan dituntut untuk dapat bekerja professional, senantiasa waspada, dan tidak semata-mata mengejar materi. Selain itu dengan adanya pengawasan dari Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan memungkinan kita Petugas Pemasyarakatan dapat bekerja dengan baik sesuai dengan protab dan prosedur sekaligus menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Selain itu keberadaan Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan diharapkan dapat mendampingi para pegawai sebagai penasehat hukum apabila ada pegawai yang bermasalah baik dalam bidang kepegawaian, administrasi, maupun sebagai mediator dan penengah apabila ada permasalahan yang berkaitan dengan narapidana.

B. Bagi Narapidana
Keberadaan Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan tentunya sangat diharapkan bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Selain sebagai tempat menampung keluh-keluhan mereka, paling tidak ada perbaikan terhadap mutu pelayanan yang mereka terima dibandingkan selama ini yang masih jauh dari yang diharapkan. Banyak kebutuhan narapidana yang tidak terpenuhi, banyak program pembinaan yang belum berjalan, dan banyak biaya yang harus dikeluarkan dari kantong mereka untuk dapat hidup layak. Sehingga tidak menutup kemungkinan sering timbulnya persinggungan antara narapidana dengan Petugas Pemasyarakatan.
Dengan adanya Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan tanggung jawab narapidana juga harus meningkat, narapidana berkewajiban menjaga keamanan dan ketertiban, narapidana wajib mengikuti program pembinaan yang diadakan oleh Lembaga Pemasyarakatan sehingga dapat menjadi manusia mandiri yang mampu menopang hidupnya setelah kembali ke masyarakat. Dengan kata lain Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan ini membantu narapidana dalam upaya pemenuhan kebutuhan sebagai bagian dari hak asasinya, dan membatasi Petugas Pemasyarakatan dari tindakan-tindakan yang tidak terpuji.

6. Keberadaan Negatif Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan A. Bagi Petugas Pemasyarakatan
Dengan keberadaan Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan dapat juga menjadi bomerang bagi diri pegawai Lembaga Pemasyarakatan. Banyak permasalahan yang akan diungkap, baik masalah pribadi, masalah yang berkaitan dengan narapidana, ataupun masalah-masalah lain yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai Petugas Pemasyarakatan akan dibeberkan. Masalah yang akan terungkap misalnya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang sudah merebak di semua lini, masalah pegawai yang melakukan kesalahan dan pelanggaran kepegawaian, maupun masalah budaya yang telah mengakar di Lembaga Pemasyarakan seperti kekerasan, pemalakan, KUHP (Kasih Uang Habis Perkara alias 86). Bagi Petugas Pemasyarakatan dalam menjalankan pekerjaannya akan merasa senantiasa diawasi, sehingga di kondisi sekarang kita terkadang membuat kita kurang nyaman dalam bertindak.

B. Bagi Narapidana
Dengan keberadaan Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan yang mengakomodir keinginan-keinginan narapidana membuka peluang banyaknya kebutuhan-kebutuhan narapidana yang harus dipenuhi. Banyak permintaan yang mereka butuhkan yang mereka anggap sebagai hak, padahal sebagai terpidana mereka harus dibatasi. Selain itu anggaran keuangan Negara dipastikan akan membengkak karena semakin banyaknya hak-hak narapidana yang harus dipenuhi, artinya semakin besar biaya yang harus ditanggung Negara dalam upaya mencukupi kebutuhan minimal narapidana. Dengan semakin dinaikkan keberadaanya, dapat menimbulkan egoisme dari diri narapidana yang selalu menuntut hak-haknya, padahal disisi lain mereka adalah orang yang telah melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum yang semestinya harus mendapatkan hukuman atau balasan yang berat. Dengan meningkatnya pelayanan dan perawatan bagi narapidana tidak menutup kemungkinan mereka menjadi betah di dalam Lembaga Pemasyarakatan dibandingkan dengan di luar yang kondisinya belum tentu lebih baik, yang akhirnya mereka memilih menjadi residivis yang kembali masuk sebagai penghuni.

7. Penutup

Demikian uraian tentang pemikiran Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan di Indonesia yang keberadaanya masih menjadi impian dan harapan bagi dunia Pemasyarakatan menuju suatu system yang lebih baik, korektif, dan efektif. Memang keberadaan Lembaga Ombudsman Pemasyarakatan dapat menjadi boomerang bagi Petugas Lembaga Pemasyarakatan apabila tidak berhati-hati dan waspada dalam melaksanakan tugas yang menjadi bidangnya. Untuk itu Petugas harus professional mengedepankan apa yang menjadi tanggungjawabnya sehingga nantinya tidak terseret dan terjerat dalam batas-batas hukum yang megitarinya. Ada keuntungan dan kelemahan dari keberadaan Lembaga Obudsman Pemasyarakatan baik bagi Petugas Pemasyarakatan maupun bagi narapidana, namun hal ini tidak perlu ditakuti, kita harus mengambil sisi positifnya sehingga mampu menjadi bagian yang terpenting dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana.