BERJUANG TANPA LELAH---CIPTAKAN RUANG PASAR TANPA PESAING DAN BIARKAN KOMPETISI TAK LAGI RELEVAN (KIM & MAUBORGNE)"

Senin, 08 November 2010

Galeri Foto di Semarang





Galeri Foto Diklat PIM IV Angkatan CLV



Selayang Pandang PIM IV Angkatan 155 Tahun 2010


Diklat Kepemimpinan Tingkat IV katanya si.. dipersiapkan untuk menduduki jabatan Eselon IV, walaupun faktanya sudah ada peserta yang sudah menduduki jabatan Eselon IV dan ada juga yang masih Eselon V bahkan masih level staff.
Di tahun 2010 kebetulan saya masuk dalam daftar peserta Diklat PIM IV untuk gelombang 3 dan terhitung merupakan Angkatan CLV. peserta sebanyak 40 orang terdiri dari berbagai unit dibawah Kementerian Hukum dan HAM RI.
peserta selain dari berbagai unit yang ada, juga terdiri dari berbagai macam suku, agama dan karakter yang berbeda-beda. disinilah benar-benar juga merasakan indahnya sebuah perbedaan dalam bingkai konflik, emosi, debat/diskusi hingga ber"gossip".
waktu pendidikan yang 37 hari jadi terasa singkat mengingat kebersamaan yang terjalin antar peserta. Namun realita yang sebenarnya adalah memang kembali ke lapangan tempat masing-masing peserta bertugas...untuk membuktikan apa yang didapat selama pendidikan bisa diimplementasikan atau tidak....atau hanya menjadi semacam pendidikan "rutinitas" yang hasilnya sama sekali tidak berpengaruh terhadap pekerjaan di lapangan.
"HANYA WAKTU DAN YANG BERSANGKUTAN YANG BISA MEMBUKTIKAN".

Rabu, 01 September 2010

UPT Pemasyarakatan (Part II - end)

1. Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara

Dalam PP 27/1983 dinyatakan bahwa di dalam Rupbasan di tempatkan benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan,pnuntutan, dan pemeriksaan berdasarkan putusan hakim (psl 27 ayat 1). Benda sitaan disimpan di Rupbasan untuk menjamin keselamatan dan keamanannya (pasal 27 ayat 3).Ripbasan dikelola oleh Departemen Kehakiman. Tanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan tersebut, ada pada pejabat sesuai dengan tingkat pemeriksaan.Tanggung jawab secara fisik ada pada Kepala Rupbasan (pasal 30)

Tujuan dari ketentuan diatas,agar supaya dapat dihindarkan adanya penyalahgunaan terhadap barang bukti dan barang sitaan negara. Yaitu melalui upaya pemisahan fungsi antara pejabat yang bertanggung jawab secara fisik atas barang tersebut. Pemisahan fungsi ini dimaksudkan tidak lain adalah agar dimungkinkannya system saling cekking diantara kedua belah pihak, sehingga setiap pejabat dapat saling mawas diri dan tidak terjerumus ke dalam penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi.

Namun sangat disayangkan bahwa walawpun peraturan tersebut sudah berjalan kurang lebih 25 tahu, akan tetapi sampai saat ini operasionalisasi tugas dan fungsi Rupbasan tersebut sangat jauh dari harapan. Sampai saat ini masih ada kesan bahwa pihak yang bertanggung jawab secara yuridis tidak rela untuk menyerahkan pengelolaan barang bukti dan barang sitaan tersebut.

Terlepas dari berbagai alasan yang menjadi justifikasi dari ttindakan-tindakan tersebut, sudah barang tentu keadaan ini tidak kondusif terhadap upaya-upaya penegakan hukum di indonesia yang bertekad untuk memberi sentuhan manusiawi sebagai penjabaran nilai-nilai Pancasila.

2. Lembaga Pemasyarakatan

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan Pemasyarakatan berdasarkan system, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari system pemidanaan dalam tata peradilan pidana (pasal 1 UU No.12 tahun 1995).

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkann kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehinnga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab (pasal 2 ayat 1 UU No. 12/1995)

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa tindakan intitusionalisasi (pemenjaraan) dapat membawa dampak yang destruktif yang disebabkan adanya “gaya yang bekerja, secara struktural, sedemikian rupa” di dalam tembok LP sehingga menimbulkan pengaruh yang negatif, yaitu berupa teekontamiminasinya nilai-nilai sub kebudayaan penjara (proses prisonisasi) dan terkena proses labiling (stigmatisasi) yang pada gilirannya dapat menumbuhsuburkan proses residivisme (pengulangan perilaku melanggar hukum).

Dengan menyadari adanya kemungkinan-kemungkinan tersebut diatas, dimana kalau dibiarkan akan menjadikan tindakan penghukuman tersebut (yang merupkan rangkaian dari proses penegakan hukum) mengarah kepada proses yang tidak memanusiakan manusia, maka Undang- undang nomor 12 tahun 1995 telah mengariskan hak-hak yang dimiiliki oleh warga binaan pemasyarakatan, tanpa kecuali. Adapun hak-hak tersebut antara lain:

a) Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya

b) Mendapat perawatan, baik perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani

c) Mendapat pendidikan dan pengajaran,

d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak,

e) Menyampaikan keluhan

f) Mendapatkan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.

g) Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya

h) Mendapatkan Pengurangan masa pidana

i) Mendapatkan kesemptan berasimilasi

j) Mendapatkan Pembebasan bersyarat

k) Mendapatkan cuti menjelang bebas dan

l) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila kita tinjau lebih mendalam, terutama dalam kaitannya dengan hak-hak yang diatur dalam huruf h sampai dengan huruf l,dimana kesemuanya itu merupakan hak untuk berasimilasi dan berintegrasi dengan masyarakat beserta seluruh nilai dan norma yang berlaku, maka di kandung maksud agar pengaruh proses prisonisasi dan proses stigmatisasi selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat diperkecil. Dengan adanya ketentuan di atas, di mana hak-hak terpidana telah di cantumkan secara tegas di dalam undang-undang, mengisyaratkan adanya suatu kepastian hukum bahwa setiap petugas pemasyaratkan “wajib” memberikan pelayanan seoptimal mungkin agar salah satu tujuan dari pennegakan hukum yakni dalam rangka “memanusiakan manusia” dapat tercapai.

Namun yang masih menjadi kendala yang dihadapi oleh pemasyarakatan untuk melayani hak-hak warga binaan pemasyarakatan untuk melayani hak-hak warga binaan pemasyarakatan adalah yang menyangkut sarana dan prasarana termasuk biaya, yang masih sangat terbatas sehingga upaya tersebut masih dirasakan kurang efektif. Disamping itu fungsi hakim pengawas dan pengamat seperti yang diatur dalam KUHAP pasal 280, yang nota bene merupakan perwujudan semangat system chekking dalam suatu proses ke-sistem-an penegakan hukum, sampai saat ini belum mendapat penilaian, melalui wewenang pengawasan dan pengamatannya di dalam Lembaga Pemasyarakatan, belum dapat dirasakan secara optimal, terutama dalam proses re-evaluasi sampai sejauh mana ketepatan pemberian hukuman yang dijatuhkan oleh seorang hakim bermanfaat bagi upaya perbaikan dan pembinaan yang dilakukan terhadap seorang terpidana.

3. Balai Pemasyarakatan

Balai Pemasyarakatan adalah unit pelaksana teknis Pemasyarakatan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi pembimbingan kepada klien, yang meliputi :

· Klien yang sedang melaksanakan proses pembinaan cuti menjelang bebas

· Klien yang sedang melaksanakan proses pembinaan pembebasan bersyarat

· Anak sipil, anak Negara dan narapidana anak.

Dalam kaitannya dengan pelaku kejahatan yang masih di bawah umur (anak nakal), system peradilan di Indonesia telah mempunyai mekanisme guna melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan kepada anak, yakni melalui Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Perlakuan terhadap pelaku kejahatan yang masih di bawah umur (anak nakal), baik dalam proses peradilannya, proses penyidikannya,proses penuntutannya maupun cara penempatannya di Lembaga Pemasyarakatan dilaksanakan secara khusus , guna mencegah dampak negative dari jalannya proses penegakan hukum seperti disebutkan di muka.

Untuk itu dalam pasal 59 UU nomor 3/1997 dinyatakan bahwa hakim dalam memberikan keputusannya “wajib” mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka putusan dinyatakan “batal demi hukum” (penjelasan pasal 59)

Laporan Penelitian Kemasyarakatan adalah sebuah laporan yang berisi tentang hasil penelitian mengenai riwayat hidup klien yang menyangkut latar belakang social,ekonomi,kejiwaan,sebab sebab mengapa klien melakukan perbuatan melanggar hukum dan lain-lain.Laporan ini di buat oleh petugas Pembimbing kemasyarakatan agar dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam memberikanputusannya. Sehingga diharapkan putusan hakim tersebut dapat lebih efektif bagi pelaksanaany pembimbingannya. Dismping itu fungsi Laporan Penelitian Kemasyarakatan dapat dipergunakan pula untuk membantu memperlancar tugas-tugas penyidik dan penuntut umum agar tindakan-tindakan yang akan dikenakan kepada pelanggar hukum yang masih muda tersebut lebih tepat karena di dukung oleh data yg objektif dan komprehansif.

Berhubung pentingnya laporan Penelitian Kemasyarakatan ini bagi aparat yang terkait, maka disadari bahwa kualitas dari pembuatan laporan tersebut harus profesional dalam arti bahwa laporan itu harus obyektif dan tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan yang bersifat pribadi apalagi dibuat dengan menyalahgunakan wewenang.

Dalam kaitan ini peranan petugas Balai Pemasyarakatan lebih bersifat memberikan bantuan kepada penegak hukum lainnya, dengan satu tujuan agar fungsi manifest dari penegakan hukum tidak menjadi dominan tapi dapat di eliminir sedemikianrupa sehingga tujuan hukum dapat dicapai.

Senin, 30 Agustus 2010

UPT Pemasyarakatan (Part I)

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (DITJENPAS) dalam operasionalnya di lapangan, tugas dan fungsinya dilaksanakan oleh Rumah Tahanan Negara (RUTAN), Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN), Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), dan Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Uraian selanjutnya akan disusun sebagai berikut :

1. Rumah Tahanan Negara
a. Dalam KUHAP pasal 22 dinyatakan bahwa jenis penahanan dapat berupa penahanan RUTAN,Penahanan rumah dan penahanan kota.


Dalam hal ini berarti bahwa selalu alternative bagi instansi yang berwenang untuk menggunakan pilihannya dalam menetapkan jenis penahanan tersebut. Namun yang ingin digarisbawahi adalah bahwa menurut hemat saya, jenis penahanan rutan adalah jenis penahanan yang harus digunakan secara selektif. Satu dan lain hal karena seperti saya sebutkan di muka, bahwa jenis penahanan Rutan dalam pelaksanaanya lebih mudah atau cenderung untuk terjerumus ke dalam pelanggaran hak asasi manusia. Manfaat inikan lebih terasa apabila dilihat dari segi biaya, dimana penahanaan rumah dan jenis penahanan kota tidak perlu mengeluarkan biaya makan dan akomodasi untuk si tersangka/terdakwa seperti kalau dikenakan kepada jenis penahanan Rutan. Jadi kalau dilihat dari segi anngaran Negara, tindakan selektif untuk mengenakan jenis penahanan Rutan adalah sangat terpuji di damping untuk mengurangi resiko melakukan tindakan pelecehan terhadap martabat manussia. Hal ini sesuai pula dengan anjuran dari Prof. Mr. Roeslan Saleh dalam bukunya yang berjudul dari Lembar Kepustakaan Hukum Pidana, yaitu menyerukan agar dalam menggunakan hukum pidana, kita harus bersikap menahan diri di damping teliti sekali (10:38)

b. Berdasarkan KUHAP pasal 22 seprti tersebut di atas maka hannya dikenal 3 macam jenis penahanan saja. Jadi pada prinsipnya KUHAP tidak mengenal jenis penahanan polisi,penahanan jaksa dan penahanan hakim yang diatur dalam HIR.

Hal ini berarti bahwa tempat penahanan hanya ada di Rutan yakni tempat tersangka atau terdakwa di tahan selama proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan (PP @&/1983 pasal 1 ayat 2). Sedangkan dalam pasal 21 dinyatakan bahwa Rutan dikelola oleh Departemen Kehakiman (dalam hal ini Cq. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan)
Kedudukan yang diatur tersebut di atas memang sudah pada tempatnya,karena apabila kedudukan Rutan juga dibolehkan dikelola oleh instansi yang berwenang secara yuridis, maka dikhawatirkan akan membawa dampak yang kurang baik terhadap perlindungan hak-hak asasi tersangka/terdakwa. Hal tersebut disebabkan karena dengan disatukannya fungsi penyidikan dan fungsi penuntutan dengan fungsi pelaksanaan penahanan maka salah satu prinsip KUHAP yakni system cekking diantara sesam pnegak hukum (dalam hal ini antara pemasyarakatan dengan instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan) tidak akan terjadi. Keadaan ini sudah barang tentu akan memudahkan terjadinya hal-hal yang tidak di inginkan, misalnya :

1) Dalam PP 27/1983 pasal 19 (4) dinyatakan bahwa kepala Rutan tidak boleh menerima tahanan dalam Rutan jika tidak disertai surat penahanan yang dikeluarkan pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan itu,sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Dapat di bayangkan apabila Kepala Rutan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penahanan itu adalah bawahan atau rekan satu korps. Dengan kondisi ini dapat timbul pertanyaan apakah ketentuan tersebut efektif dalam pelaksanaanya ? Jawabannya memang belum tentu efektif. Akan tetapi kita semua merasa khawatir bahwa sesuatu hal justru akan terjadi sebaliknya, dikarenakan tidak berfungsinya system cekking diantara instansi penegak hukum yang terkait. Sedangkan kita mengetahui bbahwa pasal tersebut dimaksudkan agar setiap tindakan dari pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis apabila ingin melakukan penahanan Rutan kepada seseorang ia harus memenuhi syarat-syarat subyektif (pasal 21 ayat 1 KUHAP).Karena kalau tidak demikian maka surat penahanan tersebut dapat dikatagorikan sebagai surat penahanan yang cacat hukum dan oleh sebab itu tidak sah, dan orang tersebut harus ditolak dimasukkan dalam Rutan.
Jadi untuk jelasnya memang sangat diperlukan adanya pemisahan fungsi tersebut, sehingga masing-masing instansi terkait dapat saling mengawasi satu sama lain.Dengan demikian ketentuan seperti yang tercantum dalam penjelasan KUHAP pasal 22 yang menyatakan bahwa selama belum ada Rutan maka tempat lain dapat dianggap Rutan, harus dihindari sejauh mungkin dan hannya dipergunakan apabila benar-banar dalam keadaan darurat.Berhubung hal tersebut akan membawa preseden yang kurang bail bagi citra penegakan hukum di indonesia.

2) Dalam PP 27/83 pasal 21 ayat 2 dinyatakan bahwa tanggung jawab yuridis atas tahanan ada pada pejabat yang menahan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Dalam ayat 3 dinyatakan bahwa tanggungjawab secara fisik atas tahanan ada pada kepala Rutan.
Subtansi dari pengaturan tersebut di atas adalahdalam pemisahan fungsi yang apada gilirannya dapatmelancarkan proses saling cekking diantara aparat penegak hukum. Dapat dibayangkan apabilaorang yang bertanggung jawab secara fisik tersebut adalahpejabat yang berkepentingan dengan hal-hal yang bersangkut paut dengan keterangan (pengakuan) tersangka/terdakwa.
Bukankah lebih muda terjadi peristiwa ‘Penganiayaan’tersangka di tempat tahanan oleh pejabat yang berkepentingan dengan pengakuan tersangka,ketimbang pemeriksaan yang dilakukan di tempat Rutan semestinya.
Lain halnya kalau di Rutan yang semestinya , sudah barang tentu pejabat Rutan yang semestinya, sudah barang tentu pejabat Rutan bertanggung jawab secara fisik tidak rela kalau dalam pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang secara yudiisil,si tahanan dilakukan melalui penyiksaan fisik. Dengan tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam Rutan juga akan terjadi penganiayaan oleh pegawai terhadap tahanan, tetapi bukankah pengawasan juga dilakukan oleh pihak lain yakni keluarga, penasehat hukum atau mala oleh pejabat yang berwenang menahan itu sendiri.
Disamping itu peranan penasehat hukum dalam pendampingan kliennya akan leluasa jika pertemuan dilakukan di tempat yang lebih netral yakni Rutan dan bukan tempat tahanan berada dalam pengawasan yang bertanggung jawab secara yudisiil yang nyata-nyata, secara tugas dan fungsi satu sama lain saling bertentangan. Secara strategis dan psikologis penempatan tahanan di Rutan dapat memberi akses yang luas terhadap dipenuhinya hak tersangka dan terdakwa untuk di dampingi penasehat hukumnya.
Dari contoh di atas, sudah jelas bahwa peranan system cekking dalam pelaksanaan KUHAP akan sangat bermanfaat bagi perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa.

c. Berdasarkan PP27/1983 pasal 19 ayat 7 dinyatakan bahwa kepala Rutan demi hukum mengeluarkan tahanan yang telah habis masa penahanannya atau perpanjangan penahanannya.
Kewenangan tersebut di atas mendudukkan posisi pemasyarakatan ke arah yang lebih nyata dalam kaitannya dengan penegakkan hukum dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Terutama sangat dirasakan bahwa “kewenangan hukum” ini tidak dimiliki oleh pemasyarakatan dalam jama HIR. Keadan ini dulu menjadikan pemasyarakatan hannya sebagai “bak sampah” yang tidak memiliki kewenangan apapun kecuali mengikuti saja apa yang di inginkan oleh instansi yang berwenang melakukan penahanan. Pengaruh dari situasi “tempo dulu” sampai saat ini masih merupakan kewenangan yang “impoten” disebabkan adanya ketentuan-ketentuan yang lain, misalnya Kesepakatan Ujung pandang dan Kesepakatan Yogyakarta, yang mengatur sedemikian rupa sehinnga kewenangan tersebut tidak dapat berjalan secara efektif.
Walaupun eksistensi dari kesepakatan-kesepakatan tersebut mempunyai alasan-alasan pembenaran, namun demi perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa, keadaan ini harus segera di akhiri. Karena tidak sesuai dengan bunyi pasal 5 Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 34/169 tanggal 17 Desember 1979 tentang Aturan tingkah laku bagi petugas penegak hukum (lihat Bab B nomor 10)
Dalam penjelasan PP 27/1983 pasal 19 ayat 7 diberikan kewenangan kepada Kepala Rutan untuk memperingatkan kepada pejabatyang bertanggung jawab secara yuridis tentang habisnya masa tahanan tersebut. Hal tersebut berarti peringatan Kepala Rutan tersebut mempunyai “daya paksa” kepada polisi,jaksa,hakim, bahkan hakim agung untuk mengindahkan peringatan itu. Karena kalau tidak, maka tahanan tersebut “harus” dikeluarkan dari Rutan demi hukum.
Jadi jelasnya, tugas dan fungsi Rutan disamping melaksanakan tugas-tugas perawatan dan pelayanan terhadap kepentingan tersangka/terdakwa yang menjadi tanggung jawabnya (perawatan kesehatan, makanan, tempat tidur yang layak, perawatan rohani dan jasmani, mendapat kunjungan dari keluarga dan penasehat hukum dan lain-lain), maka ia juga mempunyai kewenangan-kewenangan hukum yang dijamin oleh undang-undang dalam rangka melindungi harkat dan martabat tahanan tersebut.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa peraturan peundang-undangan yang berlaku telah memberikan “kedudukan” yang strategis kepada pemasyarakatan untuk ikut serta dalam penegakan hukum yang berwajah manusiawi dibandingkan dengan masa HIR berlaku.

Sabtu, 08 Mei 2010

Pekerjaan Narapidana

Dalam Buku berjudul A Human Rights Approach to Prison Management terbitan International Center for Prison Studies disebutkan bahwa “Narapidana juga manusia," Mereka juga memiliki hak asasi manusia, seberat apa pun kejahatan yang telah mereka perbuat. Hak asasi narapidana yang dapat dirampas hanyalah kebebasan fisik serta pembatasan hak berkumpul dengan keluarga dan hak berpartisipasi dalam pemerintahan. Hal ini mengandung makna bahwa setiap program kegiatan bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan haruslah mencerminkan kehidupan diluar lapas, salah satunya adalah dengan pembinaan kemandirian berupa adanya pekerjaan bagi narapidana.

Hal ini berarti bahwa pembinaan terhadap narapidana harus bermanfaat baik selama yang bersangkutan menjalani pidana maupun setelah selesai menjalani pidana, sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama dengan anggota masyarakat pada umumnya untuk dapat memberikan kontribusinya sebagai anggota masyarakat yang aktif dan produktif dalam pembangunan bangsa.

Pemikiran tentang fungsi Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga produktif secara implisit juga dimuat dalam The Standar Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, antara lain disebutkan bahwa suatu perusahaan lembaga yang vital akan dapat dipertahankan hanya apabila ada pasaran bagi hasilnya. Pembatasan-pembatasan yang dikenakan pada penjualan hasil-hasil di pasaran bebas dapat menghalang-halangi penggunaan mesin-mesin baru dan cara-cara berproduksi modern, yang dilanjutkan dapat menghambat penyesuaian narapidana pada pekerjaan-pekerjaan diluar. Sebaliknya produksi di dalam lembaga harus dihubungkan dengan rencana latihan ketrampilan dan nilai-nilai latihan kerja di lembaga-lembaga harus diambil sebagai dasar-dasar pertimbangan bagi lebih berhasilnya produksi itu.

Pekerjaan narapidana merupakan masalah yang penting dalam pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan, baik dipandang dari segi keamanan, kesehatan, pendidikan maupun fungsi sosial dari pekerjaan itu sendiri. Namun demikian tujuan, fungsi maupun sifat pekerjaan itu sendiri dalam sejarahnya tidak sama mengingat bahwa tujuan dan fungsi pidana hilang kemerdekaan itu sendiri mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan zaman.

Dengan dikembangkannya fungsi pemasyarakatan dari lembaga konsumtif menjadi lembaga produktif, maka kegiatan yang dilakukan harus dapat menciptakan iklim yang kondusif, yang memberikan peluang kepada narapidana untuk mengembangkan potensi diri dan melakukan kegiatan kerja produktif sesuai dengan bakat, latar belakang pendidikan, keterampilan atau keahlian yang dimiliki. Kegiatan kerja melalui pembinaan kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan harus merupakan suatu kegiatan yang simultan dan berkesinambungan, sehingga disamping bersifat treatment oriented maka kegiatan kerja tersebut juga harus bersifat profit oriented sebagai konsekuensi dari suatu kegiatan produktif.

Pekerjaan narapidana merupakan masalah yang penting dalam pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan, baik dipandang dari segi keamanan, kesehatan, pendidikan maupun fungsi sosial dari pekerjaan itu sendiri. Namun demikian tujuan, fungsi maupun sifat pekerjaan itu sendiri dalam sejarahnya tidak sama mengingat bahwa tujuan dan fungsi pidana hilang kemerdekaan itu sendiri mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan jaman. Dalam sistem pemasyarakatan pekerjaan narapidana bukan semata-mata dimaksudkan untuk tujuan-tujuan komersial yang bersifat profit oriented, namun lebih dimaksudkan sebagai media bagi narapidana untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat melalui kegiatan-kegiatan kerja yang bermanfaat sehingga baik selama maupun setelah menjalani pidana mereka dapat berperan utuh sebagai mana layaknya anggota masyarakat.

Pemikiran-pemikiran dasar yang melandasi perlunya program pembinaan dalam upaya peningkatan kualitas profesionalitas/ketrampilan kerja narapidana pada dasarnya pada satu sisi dimaksudkan untuk menekan atau mengeliminir segi-segi negatif dari pidana perampasan kemerdekaan, sedangkan disisi lain juga dimaksudkan untuk mengembangkan konsepsi pertanggungjawaban pribadi dalam pemidanaan untuk membangkitkan kesadaran narapidana akan nilai-nilai kemanusiaan, moralitas sosial dan tanggung jawab sosial dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

Pemberian pekerjaan melalui pembinaan kemandirian sesuai dengan yang diamanatkan oleh KUHP pada Bab II pasal 24 bahwa orang yang dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan boleh diwajibkan bekerja didalam atau diluar tembok tempat orang- orang terpidana27. Pemberian pekerjaan bagi Narapidana selain bagian dari pembinaan juga merupakan bagian dari pengamanan di dalam Lapas. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Adi Sujatno bahwa :

fungsi dari pekerjaan yang diberikan kepada narapidana, antara lain : Bagian dari pemidanaan, Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Untuk kepentingan pembangunan bangsa, Untuk memperbaiki mental, tabiat, dan perilaku, Untuk memberikan keterampilan dan keahlian, Memproduksi barang dan jasa yang bermanfaat bagi narapidana, keluarga, masyarakat dan negara, Media akselerator bagi tercapainya reintegrasi sosial narapidana.28

Mengenai tujuan pemberian pekerjaan Richard Snarr dalam bukunya menulis :

Work programs known as prison industry have a different purpose, which is to produce goods for the marketplace. Through the years, prison industry has been utilized to meet a varienty of goals, including

1. To make aprofit for the prison

2. To reduce idle time

3. To enforce prison discipline

4. To punish

5. To rehabilitate.29

Dari penjelasan diatas menurut Richard Snaar bahwa tujuan dari industri di penjara atau pemberian pekerjaan pada narapidana bertujuan untuk membuat keuntungan bagi penjara, untuk mengurangi waktu siaga dalam hal ini gangguan keamanan dapat dikurangi, untuk memaksa kedisiplinan dalam penjara, untuk menghukum, serta sebagai rehabilitasi narapidana.



27 KUHP dan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 14

28 Adi Sujatno, Negara Tanpa Penjara (Sebuah Renungan), Montas Ad, Jakarta, 2002, hlm 32.

29 Richard W. Snarr, Introduction To corrections. Debuque : Brown & Benchmark Publisher, 1996, hlm 164