BERJUANG TANPA LELAH---CIPTAKAN RUANG PASAR TANPA PESAING DAN BIARKAN KOMPETISI TAK LAGI RELEVAN (KIM & MAUBORGNE)"

Selasa, 23 Februari 2010

Pelaksanaan Mekanisme Bebas Peredaran Uang (BPU) dan Penggunaan Wartel Khusus Lapas Salemba



"Mekanisme Pelaksanaan BPU untuk masing-masing UPT bisa saja berbeda, namun tetap dengan tujuan yang sama yaitu penataan keuangan narapidana, sehingga narapidana dalam menggunakan uangnya dapat dikontrol oleh petugas, narapidana terlindungi dari kemungkinan tindak pemerasan baik yang dilakukan oleh sesama narapidana maupun oleh petugas, karena penggunaannya menggunakan Kupon yang hanya bisa "dicairkan" melalui petugas BPU.."

PEMBAHASAN 10 (SEPULUH) PRINSIP-PRINSIP POKOK SISTEM PEMASYARAKATAN

I. PENDAHULUAN

Dunia pemasyarakatan merupakan suatu dunia kehidupan manusia yang tidak banyak dikenal orang. Orang-orang yang tidak pernah berkenalan dengan dunia ini hanya dapat membayangkannya melalui gambaran-gambaran yang pernah diperoleh dengan perantaraan media massa.

Begitu pula dengan Sistem Pemasyaratakan kita ini, dimana pertama-tama diperkenalkan serta dilaksanakan banyak mengalami kesulitan-kesulitan untuk dapat langsung diresapi oleh perasaan dan pikiran masyarakat pada umumnya.

Tantangan yang perlu dijawab oleh sistem pemasyarakatan ialah sistem tersebut harus benar-benar memenuhi syarat, yaitu dapat meyakinkan pada masyarakat bahwa masyarakat diayomi, dan narapidanapun diayomi serta pelaksanaannya harus adil, jujur dan konsisten. Mengenai soal mengayomi sudah merupakan dasar falsafah pemasyarakatan dibawah Lambang Hukum Nasional, berazaskan kepribadian Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.

Masalah-masalah yang dihadapi dalam sistem pemasyarakatan, sebenarnya sangat klasik dalam arti bahwa masalah tersebut sebagian besar adalah apabila warga binaan tersebut nanti bebas dan kembali pada masyarakatnya (lingkungannya) sebagai warga negara yang baik serta berguna tidak diasingkan oleh masyarakatnya, yang apabila masalah ini berlanjut dapat mengakibatkan rasa ingin berbuat atau mengulangi lagi perilaku yang melanggar hukum tersebut.

Masalah ini nampaknya mudah diatasi tetapi sebenarnya sangat pelik dan sensitive, sebab menyangkut segi-segi :

- pendidikan serta bimbingan yang tepat,

- perawatan,

- ketertiban dan keamanan,

- cara dan macam pemberian pekerjaan,

- penyelenggaraan perusahaan lembaga yang effektif,

- kemungkinan kelangsungan hubungan keluarga,

- penempatan di lembaga-lembaga yang tepat,

- integrasi dengan masyarakat bebas,dan

- dan masih banyak lagi segi-segi lainnya yang program pembinaan dalam proses pemasyarakatan.

Disamping segi-segi pokok tersebut diatas, masih banyak segi-segi lainnya yang berupa sarana dalam sistem pemasyarakatan, antara lain :

~ mengenai peraturan-peraturan kebijaksanaan dan prosedur,

~ susunan organisasinya,

~ personil / materiil,

~ fisik / bangunannya,

~ tata usaha,

~ keuangan dan lain sebagainya.

II. Pokok-pokok Tentang Konsepsi Pemasyarakatan

Penggunaan istilah pemasyarakayan sebetulnya sudah berlaku sejak tahun 1962, yakni dalam pidato menteri Kehakiman Sahardjo pada tanggal 12 Januari 1962 yang diucapkan di Blitar ketika meresmikan pemakaian gedung Rumah Pendidikan Negara (sekarang : Rutan).

Falsafah Sistem Pemasyarakatan yang berdasarkan pada kepribadian Indonesia dan berlandaskan pada Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945, pertama kali dicetuskan oleh bapak DR. Sahardjo, SH, pada waktu beliau mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli pada tahun 1963 di Istana Negara. Kemudian dibahas dalam Konperensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan yang pertama di Lembang, Bandung yang menghasilkan beberapa keputusan dan di umumkan pada tanggal 27 April 1964.

Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana harus bebas dari pandangan-pandangan yang liberal individualisme, dan sehubungan dengan itu, pemasyarakatan sebagai tujuan pidana diartikan sebagai pemulihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan yang hakiki, yang terjadi antara individu pelanggar hukum yang bersangkutan dengan masyarakat serta lingkungan kehidupannya, dibawah kesatuan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan Pancasila (Re-Integrasi Sosial). Selain itu konferensi juga menyatakan pemasyarakatan bukan hanya tujuan pidana penjara, melainkan juga tujuan dari tiap-tiap putusan pengadilan yang berupa perampasan kemerdekaan seseorang.

Dalam paparan diatas dapat dijabarkan bahwa istilah pemasyarakatan haruslah ditafsirkan sebagai sebuah kata yang interaktif tidak sebagai sebuah kata benda yang abstrak yang berasal dari kata kerja yang aktif (memasyarakatkan) yang dapat dipasifkan (dimasyarakatkan) sebagaimana lazimnya. Kalau demikian halnya, maka terpidana akan dijadikan obyek dari pembinaan semata-mata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Konferensi Kepenjaraan di Lembang tersebut mengadakan modifikasi atau limitasi terhadap arti dan istilah pemasyarakatan.

Konsekuensi dari adanya limitasi ini ialah bahwa individu terpidana tidak lagi ditempatkan dalam fokus secara eksklusif, melainkan individu terpidana ditempatkan sebagai bagian dari fokus yang lebih luas, yakni kesatuan hubungan dimana individu terpidana itu berada.

Adapun prinsip-prinsip konsepsi pemasyarakatan tersebut antara lain :

1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat..

Jelas bahwa yang dimaksud di sini adalah masyarakat Indonesia yang menuju ketata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.Bekal hidup tidak hanya berupa finansial dan meterial , tetapi yang lebih penting adalah mental, fisik (kesehatan), keakhlian, ketrampilan, hingga orang mempunyai kemauan, dan kemampuan yang potensial dan effektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum lagi, dan berguna dalam pembangunan negara.

Dalam paparan diatas apabila dijabarkan dan diartikan bahwa perlakuan terhadap terpidana dan anak didik bertujuan untuk dan harus :

a. mengayomi masyarakat dan mengayomi terpidana itu sendiri,

b. menjaga dan menjamin rasa keadilan korban dan masyarakat,

c. diperlakukan seadil-adilnya, penuh dengan perikemanusiaan, namun tetap lugas dan tegas,

d. merupakan titik keseimbangan antara kepentingan terpidana disatu fihak dengan kepentingan korban dan masyarakat dipihak lain.

e. mencegah agar ia tidak mengulangi perbuatan melanggar hukum dan juga mencegah anggota masyarakat lainnya untuk tidak melakukan perbuatan melanggar hukum.

f. Pelaksanaan peraturan-peraturan perlakuan terhadap terpidana tidak boleh ada perbedaan atas dasar suku bangsa, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, pendirian politik atau lain-lain, sebab-sebab rational atau sosial, kekayaan harta benda, kelahiran atau status lainnya.

g. Menjunjung tinggi kepercayaan agama dan ajaran-ajaran moral dan golongan-golongan dimana terpidana termasuk,

h. Kepada terpidana dan anak didik diberikan pendidikan dan bimbingan agar menjadi manusia yang berkwalitas dalam arti: takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jasmani, rohani, perilaku dan intelektual.

2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara.

Maka tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana baik yang berupa tindakan , ucapan , cara perawatan ataupun yang penempatan. Satu-satunya derita yang dialami narapidana hendaknya hanya dihilangkan kemerdekaannya untuk leluasa bergerak didalam masyarakat bebas.

Dalam paparan diatas apabila dijabarkan dan diartikan bahwa:

a. Hak-hak asasi terpidana dan anak didik sebagai manusia tidak boleh dicabut, karena telah dicabut kemerdekaannya,

b. Terpidana dan anak didik tidak akan belajar menghargai hak-hak orang lain kalau hak-hak mereka tidak diakui atau justru dilanggar.

c. Peraturan-peraturan tentang perlakuan terpidana dan anak didik harus manusiawi, yaitu dapat dilakukan oleh manusia dan tidak menyinggung harkat dan martabatnya sebagai manusia, dan

d. Kwalitas dan kwantitas perawatan terhadap terpidana dan anak didik harus sesuai dengan tingkat kwalitas hidup masyarakat pada umumnya.

3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.

Maka kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat diikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya.

Paparan diatas apabila dijabarkan dan diartikan bahwa :

a. tobat tidak dapat diwujudkan dengan cara ancaman, paksaan, siksaan dan hukuman yang berlebihan,

b. tobat yang sejati hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan dan bimbingan,

c. pendidikan dan pembinaan yang diberikan untuk terpidana dan anak didik adalah dengan pendekatan persuasif dan edukatif, serta menghindari pendekatan intimidatif atau ancaman, tekanan atau instruktif dan dogmatif,

d. terpidana dan anak didik dibimbing disertai dengan pemberian pengertian tentang norma-norma dan nilai-nilai kehidupan dan bermasyarakat agar tidak tertinggal oleh perkembangan masyarakat,

e. pendidikan dan bimbingan yang diberikan kepada terpidana dan anak didik harus mampu mengembangkan kwalitas hidup dan kehidupannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat,

f. dalam pengembangan kwalitas hidup dan kehidupan terpidana dan anak didik, perlu diberikan bimbingan secara pribadi maupun kelompok, dan

g. sebagai upaya mempersiapkan hidup bermasyarakat, maka terpidana dan anak didik didorong untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial.

4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk / lebih jahat daripada sebelumnya ia masuk lembaga.

Untuk itu harus di adakan pemisahan antara :

~ yang residivis dan yang bukan,

~ yang tindak pidana berat dan ringan,

~ macam tindak pidana yang dilakukan,

~ dewasa, dewasa muda, dan anak-anak,

~ laki-laki dan wanita,

~ orang terpidana dan orang tahanan / titipan.

Dalam arti bahwa dalam segi penempatan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. penempatan terpidana dan anak didik tidak boleh dicampur baurkan,

b. berbagai golongan terpidana dan anak didik hendaknya ditempatkan dalam lembaga-lembaga tersendiri atau dalam bagian-bagian dari Lembaga pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara,

c. penempatan terpidana dan anak didik sejauh mungkin diusahakan sendiri-sendiri, atau dalam jumlah sekecil mungkin pada malam hari dan secara bersama-sama pada siang hari,

d. banyaknya terpidana dan anak didik yang ditempatkan dalam kamar-kamar hunian secara bersama-sama harus relatif sedikit mungkin atau meminimalisir , hal ini untuk menghindari adanya penulatan kejahatan oleh para penghuni,

e. penempatan terpidana dan anak didik dalam satu kamar secara bersama-sama, hendaknya dipilih secara teliti, demikian rupa, sehingga satu sama yang lain dapat bergaul dan saling mempengaruhi dengan baik.

f. Sejauh mungkin diupayakan terpidana dan anak didik terhindar dari sub-kultur penjara dan prisonisasi, dan

g. Kamar-kamar hunian hendaknya memenuhi syarat-syarat kesehatan, psikologis, sosiologis dan keamanan.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya.

Masalah ini memang dapat menimbulkan salah pengertian ataupun dapat dianggap sebagai masalah yang sukar dimengerti. Karena justru pada waktu menjalani pidana hilang kemerdekaan , yang menurut paham lama ialah identik dengan pengasingan dari masyarakat, sekarang menurut sistem pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

Adapun yang dimaksud sebenarnya di sini bukan “geographical” atau “physical” tidak diasingkan, akan tetapi “cultural” tidak diasingkan, hingga mereka tidak asing dari masyarakat dan kehidupan masyarakat.

Bahwa mereka kemudian secara bertahap akan dibimbing di luar lembaga (ditengah-tengah masyarakat), itu merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan. Dan memang Sistem Pemasyarakatan di dasarkan pada pembinaan yang “community centered” , serta berdasarkan interaktivitas dan inter-disiplinair approach antara unsur-unsur pegawai, masyarakat, dan narapidana.

Dalam paparan diatas apabila dijabarkan dan diartikan bahwa perlakuan terhadap terpidana dan anak didik sebagai berikut :

a. terpidana sebagai manusia pada dasarnya adalah makhluk individu tetapi untuk kelangsungan hidupnya, ia juga sebagai makhluk sosial, karena itu tidak boleh diasingkan dari masyarakat terus menerus tidak mengingkari fitrahnya sebagai manusia,

b. seseorang yang melanggar hukum berarti kesatuan hubungan hidup , kehidupan dan penghidupannya dengan masyarakat menjadi retak; keretakan kesatuan hubungan antara individu terpidana dengan masyarakat harus dipulihkan yang disebut dengan Re-Integrasi Sosial,

c. keretakan kesatuan hubungan antara individu terpidana dengan masyarakat disamping sebab-sebab internal dari terpidana, juga karena sebab external dari masyarakat. Oleh karena itu usaha pemulihan kesatuan hubungan tersebut tidak dapat dilakukan sepihak oleh terpidana saja, harus interaktif antara terpidana, masyarakat dan petugas pemasyarakatan,

d. pemulihan kesatuan hubungan antara terpidana dengan masyarakat adalah suatu proses, sehingga harus dilakukan secara bertahap,

e. upaya pemulihan kesatuan hubungan antara terpidana dan anak didik dengan masyarakat adalah dengan memproyeksikan norma-norma masyarakat kedalam kehidupan sehari-hari terpidana dan anak didik yang disebut lingkungan pembinaan, dan yang terakhir,

f. setiap terpidana dan anak didik yang telah memenuhi syarat substantif dan administratif harus melalui tahap pembinaan luar Lembaga Pemasyarakatan.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan Negara sewaktu saja.

Pekerjaan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan ditujukan kepada pembangunan nasional. Maka harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangunan nasional. Potensi-potensi kerja yang ada di Lembaga harus dianggap sebagai yang integral dengan potensi pembangunan nasional.

Penjelasan dari point diatas adalah bahwa:

a. Bekerja adalah fitrah manusia, oleh karena itu terpidana dan anak didik wajib dilatih dan diberi pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya,

b. walaupun seseorang sedang menjalani pidana penjara, sebagai anggota masyarakat ia tetap mempunyai hak dan kewajiban ikut berperan serta secara aktif dan produktif dalam pembangunan,

c. pekerjaan yang diberikan kepada terpidana dan anak didik disamping bersifat mendidik dan melatih agar mereka memperoleh keahlian dan ketrampilan, juga bersifat produktif, sehingga memberikan kontribusi dalam produksi nasional.

d. jenis pekerjaan yang diberikan kepada terpidana dan anak didik harus sama dengan pekerjaan yang ada di masyarakat, sehingga keahlian dan ketrampilan yang diperolehnya dapat dipergunakan baik selama menjalani pidananya, maupun setelah kembali ketengah-tengah masyarakat,

e. tenaga kerja terpidana dan anak didik harus diberi upah sama dengan besarnya upah yang berlaku di masyarakat bebas (UMR),

f. sistem kerja, disiplin kerja, suasana kerja dan kondisi kerja yang diterapkan terhadap terpidana dan anak didik, harus mencerminkan keadaan yang berlaku dimasyarakat, sehingga merupakan salah satu wadah / alat untuk mempermudah terwujudnya proses Re-Integrasi Sosial pada terpidana dan anak didik,

g. pekerjaan yang diberikan kepada terpidana dan anak didik harus dapat menumbuhkan rasa percaya diri , memberi harapan kepada keluarganya dan memberikan dorongan kepada masyarakat untuk ikut serta dalam pembinaan terhadap mereka, atau setidaknya-tidaknya bersedia menerima bekas terpidana dan anak didik.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila.

Maka penyuluhan dan bimbingan itu harus berisikan asas-asas yang tercantum di dalamnya. Kepada narapidana harus diberikan pendididkan Agama serta diberi kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya.

Kepada narapidana harus ditanamkan jiwa gotong royong, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, juga jiwa kekeluargaan antar bangsa-bangsa. Kepada narapidana harus ditanamkan rasa persatuan, rasa kebangsaan Indonesia, harus ditanamkan jiwa bermusyawarah untuk mufakat yang positif. Narapidana harus diikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan untuk kepentingan bersama dan kepentingan umum.

Penjabaran dan penjelasan dari point 7 adalah :

a. pembinaan harus sesuai dengan nilai-nilai kepribadian bangsa,

b. pembinaan yang diberikan kepada mereka hanya akan berhasil apabila ada kerjasama dan atau gotong royong antara terpidana, petugas dan masyarakat,

c. untuk menciptakan keadaan yang kondusif dalam upaya pemulihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara terpidana dengan petugas, harus dalam posisi manusia berhubungan dengan manusia , hubungan anak dengan orang tuanya, hubungan adik dengan kakaknya, antara saudara satu dengan lainnya, bukan antara penguasa dengan yang dikuasai ; namun petugas harus tetap tegas dan lugas tetapi penuh rasa kemanusiaan.

d. Walaupun telah dijatuhi pidana karena telah melanggar hukum dan atau melakukan kejahatan, ia tetap seorang manusia , makhluk Tuhan yang termulia, karena itu ia tetap harus diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Allah.

e. Terpidana dan anak didik senantiasa harus diberikan pendidikan dan bimbingan kerohanian dan kesempatan menjalankan ibadah seluas-luasnya, agar ia dapat hidup berbahagia didunia dan diakhirat.

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat.

Tidak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia . Maka petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memakai kata-kata yang menyinggung perasaannya , khususnya yang bersangkutan dengan perbuatannya yang telah lampau yang menyebabkan ia masuk lembaga.

Segala bentuk “label” yang negatif (cap sebagai terpidana) hendaknya sedapat mungkin dihapuskan, antara lain misalnya :

~ pengertian narapidana,

~ bentuk dan warna pakaian,

~ bentuk dan warna gedung bangunan,

~ cara pemberian perawatan, makan, tempat tidur,

~ cara pengantaran / pemindahan narapidana,

~ dan lain sebagainya.

Hal ini berarti bahwa :

a. walaupun seseorang dijatuhi pidana atas tindakan melanggar hukum yang dilakukannya, sebagai manusia mereka tetap mempunyai harkat dan martabat yang harus dihormati,

b. mereka masih mempunyai potensi untuk memperbaiki dirinya dan kembali ketengah-tengah masyarakat,

c. dalam memperlakukan terpidana dan anak didik, harus memperhatikan perasaan, keinginan, kondisi, kelemahan serta potensi-potensinya.

d. mereka harus diberi tahun tentang hak-hak dan kewajibannya,

e. sebagai manusia disamping mempunyai kelemah, mereka juga memiliki potensi-potensi serta kelebihan-kelebihan yang dapat dan harus dikembangkan, dan

f. dalam proses pembinaan terpidana dan anak didik , disamping dipandang sebagai obyek juga harus dipandang sebagai subyek pembinaan.

9. Narapidana hanya dijatuhi pidai.na kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dapat dialami

Maka perlu diusahakan supaya narapidana mendapat mata pencaharian untuk kelangsungan hidup keluarga yang menjadi tanggungannya dengan disediakan pekerjaan ataupun dimungkinkan bekerja dan diberikan upah untuk pekerjaannya . Sedangkan untuk pemuda dan anak-anak hendaknya disediakan lembaga pendidikan (sekolah) yang diperlukan ataupun diberi kesempatan kemungkinan mendapat pendidikan di luar.

Penjabaran yang lebih luas adalah :

a. Walaupun mereka telah dicabut kemerdekaannya, tetapi tidak boleh dicabut hak-hak azasinya,

b. Perlakuan terhadap terpidana dan anak didik tidak boleh menimbulkan derita fisik dan nonfisik,

c. Semua tata cara hidup yang berlaku dalam masyarakat hendaknya sebanyak mungkin diterapkan kehidupan terpidana dan anak didik sebanjang tidak menyinggung rasa keadilan masyarakat dan tidak mengganggu keamanan LAPAS dan masyarakat,

d. Penegakan disiplin dan tata tertib untuk mengatur kehidupan mereka, sedapat mungkin menghindari tambahan derita baru baginya,

e. Tindakan-tindakan disiplin yang dijatuhkan kepada terpidana dan anak didik harus melalui prosedure yang telah ditentukan dan sungguh-sungguh adilbagi terpidana, dan

f. Semua perlakuan yang akan mengakibatkan prisonisasi bagi terpidana dan anak didik sedapat mungkin dihindari.

10. Yang menjadi hambatan untuk melaksanakan Sistem Pemasyarakatan ialah warisan rumah-rumah penjara yang keadaannya menyedihkan yang sukar untuk disesuaikan dengan tugas Pemasyarakatan, yang letaknya ditengah-tengah kota dengan tembok yang tinggi dan tebal.

Maka perlu kiranya mendirikan lembaga-lembaga baru yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan, serta memindahkan lembaga-lembaga yang letaknya ditengah-tengah kota yang sesuai dengan proses pemasyarakatan. Hal ini tidak berarti bahwa lokasi lembaga semuanya harus jauh dari kota. Sesuai dengan proses pembinaannya akan diperlukan pula lembaga yang letaknya dekat kota, atau justru di dalam kota, tetapi bentuk dan tata bangunannya tidak menyolok sebagai bangunan penjara yang tradisional. Sehingga tidak merupakan “label” bagi penghuninya sebagai “orang-orang jahat” . Seperti yang telah diuraikan dalam point 4 , seharusnya ada bangunan atau gedung-gedung/bangunan khusus untuk pemisahan bagi narapidana serta fase-fase pembinaan antara lain :

~ Bangunan / gedung sentral untuk menampung narapidana yang baru masuk selama waktu singkat (orientasi) sebelum dia menjalankan pembinaan lanjutan.

~ Gedung bangunan sentral untuk mereka yang menjelang bebas, hingga dapat dilaksanakan program khusus sebagai pembinaan menjelang bebas. Dengan demikian mereka akan lebih mudah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat bebas.

~ Gedung / bangunan bagi mereka yang sudah bebas , tetapi belum dapat pulang sehingga sementara masih memerlukan bantuan.

~ Gedung/bangunan untuk Lapas terbuka.

Dalam hal ini dapat diartikan bahwa :

a. semua sarana-sarana pelaksanaan sistem pemasyarakatan hendaknya dieliminir yang memberikan kesan pembalasan, penjeraan dan penyiksaan kepada terpidana dan anak didik,

b. bangunan-bangunan Lapas dan Rutan, disatu fihak harus mampu menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban serta pembinaan, dilain pihak harus saling mendukung suasana kehidupan yang sehat secara psikologis, sosiologis, dan jasmani,

c. setiap Lapas harus dilengkapi sarana-sarana latihan ketrampilan dan produksi, pendidikan, olah raga dan rekreasi, kesehatan, ibadah serta sarana keamanan yang memadai,

d. sarana untuk memenuhi kebutuhan pokok terpidana dan anak didik tidak boleh ada perbedaan dengan sarana yang dipakai dengan masyarakat luar, hanya karena alasan mereka dipidana penjara,

e. pelaksanaan sistem pemasyarakatan hanya akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh petugas yang memiliki pengetahuan tehknis pemasyarakatan dengan integritas moral yang tinggi, jaminan sosial yang memadai, dan tenaga-tenaga ahli seperti psikolog, social worker, sosiolog, psichiater, dan dokter.

Kesepuluh prinsip pokok dalam upaya pembinaan dan bimbingan terhadap para terpidana dan anak didik ini merupakan perlakuan dalam pemasyarakatan yang bertujuan agar mereka berhasil kembalimenjadi anggota masyarakat yang baik.

Perubahan dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan membawa perubahan mendasar pada pola perlakuan terhadap para narapidana. Sistem pemasyarakatan menempatkan tahanan, narapidana, anak negara, dan klien pemasyarakatan bukan lagi sebagai objek pembinaan melainkan sebagai subjek dari pembinaan dan dipandang sebagai pribadi dan warga negara biasa serta dihadapi bukan dengan latar belakang pembalasan tetapi dengan pembinaan dan bimbingan.

Pelaksanaan dari sistem pemasyarakatan sebagai pola perlakuan terhadap narapidana dalam pelaksanaannya menggunakan metode dan cara-cara tertentu, dan baru pada tahun 1995 lahir Undang-undang tentang pemasyarakatan, yang menjadikan pemasyarakatan sebagai sistem pembinaan narapidana diakui secara hukum. Dalam praktek walaupun sistem pemasyarakatan menganut paham resosialisasi atau reintegrasi sosial ternyata tidak seluruhnya menerapkan pola tersebut yang bisa dilihat dari pola pembinaan yang dilaksanakan di Lapas pada saat ini. Walaupun dalam sistem pemasyarakatan menyatakan bahwa pembinaan narapidana harus melibatkan tiga komponen yaitu narapidana, petugas dan masyarakat, dalam praktek sehari-hari hal tersebut belum dapat diwujudkan secara sempurna yang disebabkan oleh banyak hal ternmasuk didalamnya peraturan pelaksanaan dari UU Pemasyarakatan yang belum lengkap serta sarana dan prasarana yang belum mendukung. Jadi yang menjadi permasalahan apakah 10 prinsip pemasyarakatan telah dilaksanakan dan apakah pola re-integrasi social telah kosekuen dijalankan dalam praktek?

III. Analisa 10 Prinsip-pinsip Pokok Sistem Pemasyarakatan dikaitkan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan dan Re- Integrasi Sosial

1. Pemasyarakatan dari Resosialisasi menjadi Re-Integrasi Sosial

Istilah pemasyarakatan yang pada permulaan dicetuskan pada tahun 1962 tersebut disamakan dengan resosialisasi sebagai tujuan tata perlakuan bagi pelanggar hukum terpidana, dalam arti membimbing dan mendidik terpidana agar dapat kembali ketengah-tengah masyarakat sebagai orang yang berguna.

Tetapi setelah Konferensi Dinas Kepenjaraan pada bulan Qapril 1964 yang diadakan di Lembang, setelah meninggalnya DR, Sahardjo, dimana pada konferensi tersebut untuk memberikan bentuk yang lebih nyata kepada gagasan pemasyarakatan itu, dimaksud pula untuk menghilangkan dualisme yang terdapat dikalangan pelaksana. Karena dalam pidatonya DR. Sahardjo terdapat beberapa pengungkapan tentang cara memperlakukan terpidana yang mirip sekali dengan resosialisasi, akan tetapi dalam pidatonya itu pula apabila dianalisa secara mendalam dapat dijadikan sebagai petunjuk bahwa pemasyarakatan tidak sama dengan resosialisasi, terutama pada kalimat :

- Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia dipenjarakan,

- Tidak boleh selalu ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat

Maka dalam konferensi lembang tersebut berhasil menghilangkan dualisme yang terdapat dikalangan pelaksana dengan menghasilkan kesepuluh prinsip pokok pemasyarakatan, selain itu juga dihasilkan beberapa prinsip yang dikemukakan yang menjurus pada istilah pemasyarakatan identik dengan pola pembinaan re-integrasi sosial ,yaitu :

a. Pemasyarakatan tidak hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan pula suatu cara (atau sistem) perlakuan pidana,

b. Pemasyarakatan adalah suatu proses perlakuan yang menganut prinsip gotong royong, yakni antara petugas – terpidana – dan masyarakat,

c. Tujuan pemasyarakatan adalah untuk mencapai kesatuan hubungan hidup – kehidupan – dan penghidupan yang terjalin antara terpidana dan masyarakat atau disebut sebagai integritas hidup, kehidupan dan penghidupan.

d. Fokus dari pemasyarakatan bukan individu terpidana secara eksklusif, melainkan kesatuan hubungan antara terpidana dan masyarakat,

e. Terpidana harus dipandang sebagai seorang yang melakukan pelanggaran hukum, tidak karena ia ditinggalkan dan tertinggal dalam mengikuti derap kehidupan masyarakat yang makin lama makin kompleks,

f. Terpidana harus dipandang sebagai seorang manusia makhluk Tuhan yang seperti manusia-manusia lainnya mempunyai potensi dan iktikad untuk menyusaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat,

g. Semua unsur yang terlibat dalam proses peradilan pidana pada hakekatnya menyukai perdamaian dan pada waktunya tidak segan untuk memberi maaf,

h. Petugas pemasyarakatan harus menghayati prinsip-prinsip kegotong royongan dan harus menempatkan dirinya sebagai salah satu unsur dalam kegotong royongan,

i. Tidak boleh ada paksaan dalam kegotong royongan, tujuan harus dapat dicapai melalui self propelling adjustment dan re-adjustment aproach yang harus dipakai ialah aproach sesama manusia,

j. Lembaga Pemasyarakatan adalah unit operasional untuk mencapai tujuan pemasyarakatan dan bukan bangunan. Bangunan hanyalah sebagai sarana.

k. Tujuan akhir pemasyarakatan adalah mesyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.

Dalam prinsip-prinsip tersebut diatas semakin jelaslah bahwa ada perbedaan fokus yang prinsipiil antara pemasyarakatan dan resosialisasi yaitu pada point “d” yaitu Fokus dari pemasyarakatan bukan individu terpidana secara eksklusif, melainkan kesatuan hubungan antara terpidana dan masyarakat, sedang resosialisasi berfokus hanya kepada individu, fokus yang ada pada pemasyarakatan tersebut seperti yang dianut oleh faham re-integrasi sosial.

2. Sepuluh (10) Prinsip-pinsip Pokok Sistem Pemasyarakatan dalam praktek sehari-hari serta kaitannya dengan UU Pemasyarakatan No.12 Tahun 1995

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

Didalam Undang-Undang pemasyarakatan N0. 5 Th 1995 hal ini tercantum dalam pasal 5 tentang dasar pembinaan bagi narapidana dan anak didik pada butir “a” yang berbunyi pengayoman maksudnya adalah : “Perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh WBP, juga memberikan bekal hidup kepada WBP agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat”.

  1. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh negara.

Ini berarti tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik baik berupa tindakan, maupun ucapan. Dalam praktek dilapangan kekerasan dalam lapas belum bisa dihilangkan sepenuhnya terutama kekerasan fisik baik oleh petugas lapas terhadap narapidana maupun antar sesama narapidana. Kekerasan fisik biasanya terjadi apabila narapidana melakukan pelanggaran misalnya berkelahi , menyerang petugas, melakukan pelanggaran disiplin, dan sebagainya. Yang sering terjadi adalah melakukan pemukulan atau hukuman fisik dalam proses pemeriksaan dan apabila terbukti bersalah narapidana yang bersangkutan dikenakan hukuman pengasingan, yang kadang-kadang kondisi kamar pengasingan kurang manusiawi. Kekerasan fisik antar sesama narapidana biasanya terjadi karena adanya pemalakan, persaingan antar kelompok dalam lapas yang tidak terdeteksi oleh petugas lapas, dan puncaknya terjadi perkelahian masal antar napi/kerusuhan dalam lapas.

3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan, supaya mereka bertobat.

Didalam Undang-Undang pemasyarakatan N0. 5 Th 1995 hal ini tercantum dalam pasal 5 tentang dasar pembinaan bagi narapidana dan anak didik pada butir “d” pada penjelasannya yang berbunyi “bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila , antara lain, penanaman jiwa kekeluargaan, ketrampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah "

  1. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.

Dalam praktek hal yang diuraikan diatas telah dicoba dilaksanakan, ada pemisahan antara napi anak-anak dengan dewasa, pria dengan wanita, narapidana dengan tahanan, dan pemisahan berdasarkan pada tahap-tahap pembinaan. Lembaga pemasyarakatan yang ada sekarang terdiri dari Rutan, Lapas Dewasa, Lapas Pemuda, Lapas Wanita, Lapas Anak dan Lapas Khusus Narkotika, serta Lapas Terbuka.

Dalam hal penempatan dalam kamar hunian dipolakan ganjil ,yaitu; 1atau 3 atau 5 atau 7 dalam setiap kamarnya, akan tetapi kondisi saat ini hal tersebut tidak dapat dilaksanakan karena hampir semua Lapas dan Rutan tertama yang ada di pulau Jawa sudah over kapasitas, sehingga kondisi dalam lapas kurang manusiawi dan tidak memenuhi standar kesehatan dan pengamanan.

Hal ini berdampak pemisahan residivis sulit dilakukan dan prisonisasi masih tetap terjadi.

  1. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

Masalah ini memang dapat menimbulkan salah pengertian atau dapat dianggap sebagai masalah yang sukar dimengeri. Karena justru pada waktu mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan, yang menurut paham lama adalah identik dengan pengasingan dari masyarakat, sekarang menurut sistem pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Napi tidak asing dengan masyarakat luar kepada mereka diberikan kebasan memperoleh informasi baik melalui media elektronik maupun media massa lainnya. Selain itu kepada mereka diberikan hak untuk dikunjungi, diadakan program kunjungan masysarakat ke dalam Lapas dan juga program asimilasi di luar lapas serta CMB dan PB.

Dalam pasal 5 butir “g” UU PAS, disana jelas disebutkan bahwa terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang terdekat. Dan pada pasal 14 butir “f” bahwa narapidana berhak mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.

  1. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan unuk memenuhi kebutuhan jawatan atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja.pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan dimasyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.

Hal ini jelas dicantumkan pada pasal 14 ayat “ g “ yaitu ; bahwa narapidana berhak untuk mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan , hal ini berarti bahwa pekerjaan tersebut harus yang menghasilkan dan berguna baginya bukan hanya sekedar pengisi waktu saja.

Jalan kearah tersebut telah ditempuh dengan mengadakan kerjasama antar instansi pemerintah maupun dengan fihak swasta.

  1. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada terpidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.

Didalam Undang-Undang pemasyarakatan N0. 5 Th 1995 hal ini tercantum dalam pasal 5 tentang dasar pembinaan bagi narapidana dan anak didik pada butir “c” dan “d” pada penjelasannya yang berbunyi “pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila , antara lain, penanaman jiwa kekeluargaan, ketrampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah "

  1. Terpidana dan anak didik sebagai yang tersesat adalah manusia dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia, martabat dan harkatnya sebagai manusia harus dihormati.

Menurut UU PAS pasal 5 huruf “e” yang berbunyi bahwa “pengormatan harkat dan martabat manusia” adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.

Pada dewasa ini dimana elemen Hak Asasi Manusia selalu dikedepankan maka perlakuan terhadap terpidana dan anak didik secara perlahan-lahan menuju kearah sana, dengan cara memberikan penyuluhan dan pendidikan pada pegawai/petugas tentang HAM.

  1. Terpidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dialami.

Undang-Undang PAS mengatur hal tersebut pada pasal 5 “f” , pasal 7 ayat 2, pasal 14 : kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan: maksudnya adalah Warga Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan untuk memperbaikinya.

Selama di LAPAS, Warga Binaan Pemasyarakatan akan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur , latihan olah raga atau rekreasi.

10. Yang menjadi hambatan untuk melaksanakan Sistem Pemasyarakatan ialah warisan rumah-rumah penjara yang keadaannya menyedihkan yang sukar untuk disesuaikan dengan tugas Pemasyarakatan, yang letaknya ditengah-tengah kota dengan tembok yang tinggi dan tebal. Oleh sebab itu perlu disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif, dan edukatif sistem pemasyarakatan.

Hal ini dengan adanya UU PAS dicantumkan pada pasal 12, pasal 18, pasal 25, serta pasal 32, dimana dalam praktek hal yang diuraikan diatas telah dicoba dilaksanakan, dengan adanya pemisahan antara napi anak-anak dengan dewasa, pria dengan wanita, narapidana dengan tahanan, dan pemisahan berdasarkan pada tahap-tahap pembinaan. Lembaga pemasyarakatan yang ada sekarang terdiri dari Rutan, Lapas Dewasa, Lapas Pemuda, Lapas Wanita, Lapas Anak dan Lapas Khusus Narkotika, serta Lapas Terbuka.

IV. K e s I m p u l a n.

Dari uraian diatas dapatlah diketahui bahwa sejak didirikannya Republik Indonesia ini telah terjadi pembaharuan arah perlakuan terhadap pelanggar hukum / terpidana ini , pembaharuan yang paling menonjol dalam pola pembinaan narapidana adalah sesudah Konferensi di Lembang tahun 1964, yang merobah wujud lembaga kepenjaraan menjadi lembaga pemasyarakatan.

Sistem Pemasyarakatan sebagai pengganti Sistem Kepenjaraan, yang dicetuskan oleh almarhum Dr. Sahardjo, SH tahun 1963 dan dikembangkan pada Konferensi Kepenjaraan di Lembang, sebagai suatu sistem perlakuan / pembinaan pelanggar hukum, yang pada tahun 1995 telah memantapkan posisinya dan fungsinya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Lebih dari 35 tahun Sistem Pemasyarakatan dengan doktrin dan tujuannya (Re-Integrasi Sosial) berjuang untuk memposisikan dirinya dengan mengadakan pembaharuan-pembaharuan baik terhadap tata cara perlakuan terhadap warga binaan maupun terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, melalui Surat Edaran maupun Peraturan Pemerintah (PP).

10 Prinsip Pokok Pemasyarakatan, yang dihasilkan dari adanya Konferensi Lembang tersebut dimana dialamnya menjurus pada istilah pemasyarakatan identik dengan pola pembinaan re-integrasi sosial , pada pelaksanaannya sampai sekarang masih relefan, walaupun masih ada cara penanganan perlakuan terhadap terpidana yang mencerminkan pola retribusi, deterrence maupun rehabilitasi dan resosialisasi.

Hal ini disebabkan oleh adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dari tuntutan masyarakat tentang tata cara perlakuan terhadap pelanggar hukum (terpidana), kepentingan sosial yang satu, kadang-kadang bersamaan dengan kepentingan individual tertentu menghendaki cara-cara kekerasan, sedang kepentingan sosial yang lain menghendaki sebaliknya. Yang satu menghendaki supaya tembok pemisah diperketat contohnya : dengan didirikannya Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Jakarta, yang lainnya menghendaki supaya tembok pemisah itu diperlunak dan dihapuskan contohnya : dengan dibangunnya Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta. Dari adanya kepentingan-kepentingan yang bertentangan tersebut maka ditengah-tengah berdirilah totalitas tujuan yang bebas dan tidak bebas, yang berubah dan tidak berubah.