BERJUANG TANPA LELAH---CIPTAKAN RUANG PASAR TANPA PESAING DAN BIARKAN KOMPETISI TAK LAGI RELEVAN (KIM & MAUBORGNE)"

Senin, 19 September 2011

UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

UU Narkotika Baru

Minggu, 18 September 2011

The Standard Minimum Rule

The Standard Minimum Rule

BUKU SAKU PENAHANAN

buku saku penahanan
Konvensi_CEDAW

Kamis, 08 September 2011

Pelayanan Publik

Pelayanan Publik - Uu_no.25-2009

Rabu, 07 September 2011

Hubungan Antara Komunikasi Organisasi dan Lingkungan Kerja Fisik dengan Kepuasan Kerja dan Produktivitas Kerja Karyawan Lapas Klas IIA Narkotika Jkt

Produktivitas Kerja

Keamanan VS Pembinaan

keamanan vs pembinaan

Sekilas Pemberian Remisi di Berbagai Negara


1. Kanada

Di negara Kanada pemberian remisi dilakukan berdasarkan Queen’s Printer Act RSPEI 1988, Cap. O-1 dan Prisons and Reforatories Act dan UU Kepenjaraan dan Reformasi. Undang Undang Negara Federal Kanada secara otomatis memberikan pengurangan masa pidana sebanyak satu pertiga dari masa pidana. Contoh, seorang napi yang mendapatkan pidana 90 (sembilan puluh) hari penjara, secara otomatis mendapatkan pengurangan masa pidana maksimum 30 (tiga puluh) hari.

Narapidana tidak diberikan pengurangan apabila :

- Tidak berpartisipasi dalam kegiatan lapas;

- Melanggar aturan violete the zero tolerance policy terhadap petugas pemasyarakatan;

- Tidak mampu memenuhi standar berperilaku positif.

2. Afrika Selatan

Dalam mersepon permasalahan overcrowding penghuni penjara, kurangnya anggaran, Departemen Pelayanan Pemasyarakatan telah beberapa kali memberikan remisi khusus (special remission), diluar remisi biasa yang sudah diberikan secara rutin. Dalam kurun waktu 30 Maret 1990 dan 30 Juni 1994, remisi khusus diberikan kepada 94.128 orang napi.

Selain remisi khusus tersebut, juga diberikan remisi yang disebut sebagai Goodwill and Bursting Remission pada Desember 1990, April 1991, Juli 1991 dan Januari 1993. Undang Undang Pemasyarakatan Nomor 8 Tahun 1959 di Afrika Selatan diubah pada tahun 1993, untuk merancang kembali kebijakan menyangkut pengurangan pidana maupun pelepasan narapidana.

3. Thailand

Remisi Thailand diberikan berdasarkan UU Penitentiary Tahun 1936 dan Peraturan Pemerintah Tahun 1978. Remisi diberikan kepada napi dengan klasifikasi berkelakuan baik, sangat baik dan terbaik (good, very good and exellent class). Selain itu, pada saat tertentu, Raja Thailand memberikan remisi khusus, biasanya pada ulang tahun Raja.

Pada klasifikasi baik, narapidana akan mendapatkan pengurangan pidana 3 hari setiap bulannya. Klasifikasi sangat baik akan mendapatkan 4 hari setiap bulan, dan pada klasifikasi terbaik narapidana akan mendapatkan 5 hari.

Apabila seorang narapidana ditugaskan untuk bekerja diluar selama 1 hari, masa pidana mereka juga akan dikurangi sebesar 1 hari, ditambahkan dengan remisi bulanannya.

Bagi praktisi pemasyarakatan di Thailand, remisi harus tetap diberikan karena merupakan salah satu hak dari napi. Napi yang berkelakuan baik harus mendapatkan kesempatan bebas sebelum waktunya. Dari pemberian remisi tersebut napi terinsipirasi berkelakuan baik dalam lapas. Pemberian remisi juga merupakan solusi masalah over kapasitas yang sedang terjadi di Thailand.

Dalam 66 tahun, UU Kepenjaraan Nomr BE 2479 (tahun 1936) telah tiga kali dimodifikasi yaitu tahun 1977 dimana sistem penghargaan perilaku baik (Good Time Allowance) atau remisi, diperkenalkan untuk mengurangi masalah overcrowding. Kedua, tahun 1979 dan ketiga pada tahun 1980.

4. Singapura

Dasar hukum pemberian remisi di Singapura adalah Prosedur Hukum Pidana (Criminal Procedure Code). Napi yang menjalani pidana lebih dari 1 (satu) bulan secara otomatis mendapatkan remisi sepertiga.

Remisi tidak diberikan kepada napi yang sedang menjalani hukuman pelanggaran dalam penjara, sedang dirawat di rumah sakit yang disebabkan perbuatannya sendiri, dan napi yang sedang ditangkap kembali setelah melarikan diri.

5. Queensland (Australia)

Dasar hukum pemberian remisi di Queensland adalah Undang Undang Pemasyarakatan tahun 2000 (Corrective Services Act 2000). Pasal 75 mengatakan, yang berhak mendapatkan remisi adalah napi dengan masa pidana penjara dua bulan atau lebih.

6. Tasmania (Australia)

Dasar hukum pemberian remisi di negara bagian Tasmania adalah Peraturan Pemasyarakatan tahun 1998 Nomor 104 (Correction Regulation 1988, Nomor 104). Remisi diberikan kepada napi yang masa pidananya tiga bulan atau lebih.

Catatan :

Sistem remisi di berbagai negara dan kondisi di Eropa, didasarkan pada keterangan Pakar hukum pidana, Prof Dr Andi Hamzah SH dalam sebuah acara di Mahkamah Konstitusi (2005)

Sumber Artikel :

Paradigma Memelihara Napi Selama Mungkin, Laporan Studi Overcrowding Penjara oleh Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI).

Selasa, 06 September 2011


RANTAI REMISI KORUPTOR… Perbincangan Tahunan yg diagendakan ???

OPINI | 07 September 2011 | 11:20http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon01.jpg7 http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon02.jpg0 http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon03.jpg Nihil


Rantai Remisi Koruptor

20:52 NAPI-NARAPIDANA INDONESIA

Di sela-sela perayaan HUT RI di KPK, Rabu (17/8), Ketua KPK Busyro Muqoddas,
mengkritik kebijakan Kementerian Hukum dan HAM yang memberi remisi bagi
terpidana pelaku korupsi pada hari kemerdekaan RI. Menurut Busyro, penghapusan
remisi terhadap napi koruptor dapat menekan potensi tindak pidana korupsi.
“Sejak dahulu, saya berpendapat remisi terhadap koruptor ditinjau
kembali. Ini perlu dilakukan segera, mudah-mudahan ini bias cepat
ditindaklanjuti dengan revisi undangundang terkait,” tutur Busyro.
Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang.


Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan
hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU
12/1995 tentang Pemasyarakatan. Topik usang, namun menjadi
mencengangkan, karena diucapkan oleh seorang BusyroMuqoddas yang kita anggap
mengerti hukum. Dasar utama pemberian remisi sekarang ini adalah Pasal 14 Ayat
(1) Butir i, yang berbunyi, “Narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa
pidana (remisi).” Selanjutnya, Pasal 14 Ayat (2) berbunyi, “Ketentuan mengenai
syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan remisi diatur dengan peraturan
pemerintah.” Remisi kemudian diatur dengan PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Dengan dasar hukum tersebut,
persoalannya bukan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM, tetapi remisi
semata-mata melaksanakan amanat UU. Ini yang pertama. Kedua, Ketua KPK tidak
membedakan rantai proses pidana. Dia seakan-akan lupa, proses pengadilan
(dakwaan, pembuktian, penuntutan, putusan hukuman), sungguh suatu rantai yang
berbeda dengan pelaksanaan hukuman. Sudah barang tentu kita mendukung
jika hukuman koruptor diperberat, dan upaya pengembalian kerugian negara
benar-benar dioptimalkan. Tetapi, hendaknya hal itu dilakukan pada mata rantai
proses pidana, bukan di rantai pelaksanaan pidana. Mencampuradukkan
keduanya (antara proses pidana dan pelaksanaan hukuman), sama dengan
menginjak-injak konstitusi. Sebetulnya, hal mendesak memberantas korupsi adalah
penerapan asas pembuktian terbalik.

Ditolak MK


Masalah pemberian remisi (UU 12/1995) sudah pernah diuji materi ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui putusan No 022/PUU-III/2005 (tertanggal 1
Maret 2006), MK menolak gugatan. Keberatan diajukan oleh Bahrul Ilmi Yakup SH
dan Dhabi K Gumayra SH, keduanya berdomisili di Palembang. Menteri Hukum
dan HAM pada masa itu, secara lisan dan tertulis memberi kesaksian kepada MK.
Menurut Menteri, pemberian remisi adalah sesuai dengan UUD 1945, juga Pasal 14
dan 15 KUH Pidana. Pada masa Hindia Belanda, dasar hukum pertama pemberian
remisi adalah Gouvernementsbesluit, tanggal 10 Agustus 1935 tentang
Remissieregeling.

Menteri Hukum membuat perbandingan remisi di Indonesia
dengan sejumlah negara. Kanada, misalnya, berdasarkan Queen’s Printer 1988 dan
Prisons and Reformatories Act 1988, memberikan secara otomatis pengurangan masa
pidana sebanyak satu pertiga dari masa pidana. Di Indonesia, total remisi tak
lebih 20 persen. Di Amerika Serikat, pengurangan otomatis setengah hukuman.
Afrika Selatan, malah mempertimbangkan aspek overcrowding (kelebihan muat) dan
kurangnya anggaran Lembaga Pemasyarakatan (LP). Departemen Pelayanan
Pemasyarakatan di sana, telah beberapa kali memberikan remisi khusus (special
remission) dalam kurun waktu 30 Maret 1990 dan 30 Juni 1994, kepada 94.128
narapidana. Padahal, Afrika Selatan, juga seperti Kanada, menganut pengurangan
hukuman sepertiga hukuman secara otomatis. Singapura, sama dengan
Kanada, pengurangan sepertiga hukuman (secara otomatis). Thailand, remisi
diberikan kepada narapidana dengan klasifikasi berkelakuan baik, sangat baik dan
terbaik (good, very good and excellent class). Pada klasifikasi baik, narapidana
akan mendapatkan pengurangan pidana tiga hari untuk setiap bulan. Klasifikasi
sangat baik akan mendapatkan empat hari tiap bulan, dan pada klasifikasi terbaik
narapidana akan mendapatkan lima hari tiap bulan. Apabila seorang narapidana di
Thailand ditugaskan untuk bekerja di luar selama satu hari, masa pidana mereka
juga akan dikurangi sebesar satu hari, ditambahkan dengan remisi bulanannya.


Saksi ahli yang dihadirkan di MK, Prof Dr Andi Hamzah SH, memberi
pencerahan atas masalah ini. Andi Hamzah, memberi batas yang jelas antara “batas
wewenang peradilan pidana” dan “pelaksanaan hukuman”. Hamzah mengutip pakar
hukum pidana, JM Van Bemmelen yang mengemukakan, acara pidana terdiri atas tujuh
tahap: (1) Mencari kebenaran; (2) Mencari pelaku tindak pidana; (3) Menangkap
pelaku dan kalau perlu menahannya; (4) Mengumpulkan bukti untuk diajukan ke
pengadilan; (5) Pengambilan putusan oleh hakim; (6) Upaya hokum melawan putusan
hakim (bandingkasasi); dan (7) Pelaksanaan putusan hakim (eksekusi).
Begitu jaksa mengeksekusi putusan hakim, berakhirlah proses acara
pidana. Selanjutnya, pembinaan narapidana berada di dalam wilayah pemerintah
(eksekutif), yang dilaksanakan oleh LP, di bawah naungan Kementerian Hukum dan
HAM. Dengan pernyataan Ketua KPK Busyro Muqoddas, agar remisi
dihilangkan, penulis menjadi tidak mengerti, dalam konteks mana dia bicara? Soal
berat hukuman, adalah wewenang pengadilan (jaksa dan hakim). Khusus di KPK,
malah mulai dari penyidik. Jaksa dan hakim adalah satu “tim terpadu” yang tak
mungkin gagal. Jika narapidana “alumnus” KPK cepat bebas, tentu bukan karena
memperoleh remisi, tetapi karena hukuman di Pengadilan Tipikor yang mungkin tak
sesuai harapan rakyat.

Lama Pidana

Kemudian soal lama pidana. Ada asumsi sebagian orang, semakin lama hukuman suatu tindak
pidana, akan semakin menimbulkan efek jera. Dalam kesaksian di MK, Andi Hamzah
juga mengatakan, sesudah Perang Dunia II, para pakar hukum pidana dan hukum
acara pidana di Eropa berpendapat, pidana penjara tidak mencapai maksudnya,
yaitu untuk mengurangi kejahatan di masyarakat. Hukuman ringan (enam
bulan ke bawah), lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya (too short for
rehabilitation and too long for corruption). Maka perlu dicari alternative lain,
seperti pidana kerja sosial (community service order), denda harian (day
fine), yaitu denda yang dibayar terpidana sebagai pengganti pidana penjara enam
bulan ke bawah. Masa pidana yang lama, ternyata tak juga membuat efek
jera. Hukuman untuk pengedar narkoba di Indonesia sekarang ini sudah demikian
berat, banyak yang sampai hukuman mati. Namun kenyataannya, peredaran narkoba
bukannya berkurang, malah bertambah. Para pakar pun sudah sepakat, hukuman
dengan jangka waktu yang lama, tak memberi efek jera.

“Kesadaran Palsu”

Kini publik seakan-akan dihinggapi “kesadaran palsu,” seakan-akan mengoptimalkan pemberantasan korupsi hanya dengan menghilangkan
remisi koruptor. Padahal, remisi hanya sebagian kecil dari rantai proses
memasukkan koruptor ke penjara. Publik seakan- akan lupa, hal utama memberantas
korupsi adalah pemerintahan yang bersih, transparansi, dan penerapan asas
pembuktian terbalik. Jika remisi bagi para koruptor dihilangkan, namun
kualitas birokrasi kita tak juga berubah, apakah praktik korupsi akan berkurang?
Tentu tidak. Lalu, publik sepertinya tak juga menyadari, sekarang ini
pemberian remisi pelaku tindak pidana korupsi sebetulnya sudah sangat ketat.
Hanya boleh mendapat remisi apabila sudah menjalani sepertiga hukuman. Ini
diatur dalam PP 28/2006 (yang merupakan perubahan atas PP 32/1999, khususnya
Pasal 34). Meski PP ini sudah berusia lima tahun, kenyataannya tidak
memperbaiki peringkat Indonesia sebagai negara terkorup. Indonesia tetap
bertengger di kelompok terbawah. Apanya yang salah? Barangkali, pokok masalah
adalah keseriusan para penegak hukum, jangan tebang pilih, jangan hanya mencari
nama, jangan hanya membentuk citra, dan satu lagi, penerapan asas pembuktian
terbalik!

SIHOL MANULANG PENULIS ADALAH WARTAWAN

http://www.suarapembaruan.com/pages/e-paper/2011/08/24/index.html

Resume Penelitian Berkenaan Pola Adaptasi Seksual Narapidana


1. Adanya pembagian peran sebagai laki-laki dan peran perempuan atau husband and Wifes di Penjara Propinsi Gaueng, Afrika Selatan :

Male prison populations tend to be divided into people identified as 'men' and those identified as 'women'. 'Women' are seen primarily as the sexual property and servants of 'men' and are often forcibly taken as 'wives' (or wyfies) by other inmates in relationships known as 'marriages'.3 They are required to take care of the 'home' space (cell) and to be sexually available to their partners. 'Men'/'husbands', on the other hand, provide materially for their 'wives' through activity in the 'business' of prison.4 'Marriage'-type interactions are reportedly the most common site of sex in men's prisons and are accepted in the hegemonic inmate culture as the right place for sex to happen. Like in accounts of sexual mores from the mine compounds (Moodie 1994) and women's prisons (Dirsuweit 1999, 2003) they arrange around a conflation of gender and sex role: men penetrate and women are penetrated.”

Sumber :

Taylor & Francis, Ltd. is collaborating with JSTOR to digitize, preserve and extend access to Culture, Health & Sexuality. Rules of Engagement: Structuring Sex and Damage in Men's Prisons and Beyond Author(s): Sasha Gear Source: Culture, Health & Sexuality, Vol. 7, No. 3, African Sexualities (May, 2005), pp. 195-208 Published by: Taylor & Francis, Ltd. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/4005491 Accessed: 16/10/2009 03:10

2. Adanya kondisi anomi di penjara Amerika didasarkan pada adanya perbedaan perlakuan antara narapidana kasus kriminal biasa dengan narapidana politik pada tiga tempat/tahapan yang harus dilalui yaitu : Detention Processes, The Transit Camp dan Corrective Labor Camps.

Sumber :

Inmate Organization and Anomie in American Prisons and Soviet Labor Camps Author(s): Donald R. Cressey and Witold Krassowski Source: Social Problems, Vol. 5, No. 3 (Winter, 1957-1958), pp. 217-230 Published by: University of California Press on behalf of the Society for the Study of Social Problems Stable URL: http://www.jstor.org/stable/798964

3. Bunuh diri menurut Durkheim disebabkan karena dua faktor, yaitu dua variabel sosial, integrasi dan regulasi, bersama-sama menentukan tingkat bunuh diri. Tingkat tinggi disebabkan oleh kondisi ekstrem integrasi (egoisme atau altruisme) atau peraturan (anomi atau fatalisme), atau oleh beberapa kombinasi dari kondisi ekstrim.

Durkheim's One Cause of Suicide Author(s): Barclay D. Johnson Source: American Sociological Review, Vol. 30, No. 6 (Dec., 1965), pp. 875-886 Published by: American Sociological Association Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2090966 Accessed: 16/10/2009 04:23

4. Penelitian yang menguraikan penyebab tentang terjadinya homoseksual dan mengarahkan orientasi seksual dengan menggunakan metode perilaku, psikodinamik, hormon, farmasi dan metode bedah.

Redirecting Sexual Orientation: Techniques and Justifications Author(s): Timothy F. Murphy Source: The Journal of Sex Research, Vol. 29, No. 4 (Nov., 1992), pp. 501-523 Published by: Lawrence Erlbaum Associates (Taylor & Francis Group) Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3812700 Accessed: 16/10/2009 02:50

5. Penelitian yang menyebutkan bahwa perilaku homoseksualitas sebagai bentuk dari pola adaptasi di penjara wanita sekaligus menegaskan merupakan bentuk atas akibat kondisi anomi di penjara laki-laki serta perbandingan perilaku homoseksualitas di penjara antara narapidana wanita dan pria.

Homosexuality: A Mode of Adaptation in a Prison for Women Author(s): David A. Ward and Gene G. Kassebaum Source: Social Problems, Vol. 12, No. 2 (Autumn, 1964), pp. 159-177 Published by: University of California Press on behalf of the Society for the Study of Social Problems Stable URL: http://www.jstor.org/stable/798979 Accessed: 16/10/2009 03:18

Tabel :

ESTIMATES OF PREVALENCE OF INSTITUTIONAL HOMOSEXUALITY (PER CENT)

Replies of women's prison staff and female and male inmates to the statement:

"A rough estimate of the number of women (men) who haxe sexual affairs at one time or another with other women (men) while in prison would be:

Estimate of Homosexuality

Woman’s Prison Staff

Female Inmates

Male Inmates

5 percent or less

12

12

29

15 Percent

31

12

25

30 Percent

29

25

25

50 Percent

14

22

12

70 Percent

9

22

6

90 Percent or more

5

7

3

100 (58)

100 (263)

100 (744)

Note: 6 staff members, 30 female inmates, and 127 male inmates refused or were unable to make an estimate.

6. Penelitian tentang perilaku dasar seksual manusia, dimana penelitian ini membagi tipe-tipe perilaku dasar tersebut seperti hewan mammalia.

The Primate Basis of Human Sexual Behavior Author(s): Gerrit S. Miller, Jr. Source: The Quarterly Review of Biology, Vol. 6, No. 4 (Dec., 1931), pp. 379-410 Published by: The University of Chicago Press Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2808208 Accessed: 24/07/2009 00:48

7. Penelitian yang menyebutkan bahwa kekerasan di dalam penjara salah satunya disebabkan oleh adanya pembatasan yang ketat dalam hal seksual di dalam penjara.

Two paradigms are frequently used to explain serious prison violence. In one, violence is said to result from psycho- logical tensions induced by crowded conditions (see, e.g., Cox et al., 1984). In the second, violence is seen as one among several important control mechanisms deeply rooted in the authorita- rian, economic, sexual, and racial order of prison (see, e.g., Sykes, 1958; McCleery, 1961; Irwin, 1980). While these models are clearly not mutually exclusive (see, e.g., Ellis, 1984), they have taken researchers along quite distinct paths.”

Crowding, Social Control, and Prison Violence: Evidence from the Post-Ruiz Years in Texas Author(s): Sheldon Ekland-Olson Source: Law & Society Review, Vol. 20, No. 3 (1986), pp. 389-421 Published by: Blackwell Publishing on behalf of the Law and Society Association Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3053581 Accessed: 24/07/2009 00:53

8. Di Amerika Serikat narapidana yang memiliki pasangan dapat dikunjungi oleh istri atau keluarganya dua kali dalam satu bulan dalam durasi 2 jam, di ruang kunjungan mereka bisa berkumpul bersama-sama, walaupun begitu hak ini tetap melalui tahapan uji kelayakan bagi narapidana yang bersangkutan.

Marital Relationships of Prisoners in Twenty-Eight Countries Author(s): Ruth Shonle Cavan and Eugene S. Zemans Source: The Journal of Criminal Law, Criminology, and Police Science, Vol. 49, No. 2 (Jul. - Aug., 1958), pp. 133-139 Published by: Northwestern University Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1140923 Accessed: 24/07/2009 01:35

9. Penelitian yang menunjukkan bahwa perilaku seksual narapidana di penjara adalah Masturbasi, Homoseksualitas dan Perkosaaan antar narapidana.

Prison Sexology: Two Personal Accounts of Masturbation, Homosexuality, and Rape Author(s): John Money and Carol Bohmer Source: The Journal of Sex Research, Vol. 16, No. 3 (Aug., 1980), pp. 258-266 Published by: Lawrence Erlbaum Associates (Taylor & Francis Group) Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3812269 Accessed: 24/07/2009 00:52

10. Penelitian yang menunjukkan pentingny a kunjungan bagi narapidana dalam menjaga hubungan baik narapidana dengan keluarganya

This optimism stems from the powerful potential possessed by family visitation programs to maintain inmates’ social ties with their families through visits. Indeed, the limited evaluative research on visitation programs to date indicates that they are related to enhanced social adjustment for both the period of incarceration and release/

Going to Prison: A Prison Visitation Program, Richard Tewksbury and Matthew DeMichele, The Prison Journal 2005; 85; 292m. http://tpj.sagepub.com/cgi/content/abstract/85/3/292.

11. Penelitian yang menunjukkan program kunjungan narapidana sebagai bentuk solusi dari pengurangan kekerasan terhadap narapidana, meningkatkan stabilitas kekeluargaan narapidana dengan keluarganya dan mengurangi angka homoseksualitas di penjara Misissipi.

Does Participation in Conjugal Visitations Reduce Prison Violence in Mississippi? An Exploratory Study, Christopher Hensley, Mary Koscheski and Richard Tewksbury, Criminal Justice Review 2002; 27; 52, http://cjr.sagepub.com/cgi/content/abstract/27/1/52

12. Kekerasan seksual dalam penjara merupakan pelanggaran serius dan merusak. Bentuk yang paling brutal penyerangan seksual, seperti pemerkosaan (kadang-kadang terjadi
korban yang sama setiap hari selama bertahun-tahun) dan gang rape-bisa menyebabkan permanen fisik, psikologis, emosional, sosial, dan masalah-masalah seksual dan bahkan kematian dari korban; tetapi sekali pelecehan seksual, korban kemungkinan besar akan berulang kali target - karena kehilangan status sosial, dianggap kelemahan, dan kerentanan. Kadang
bahkan korban bereaksi dengan menjadi agresor seksual, sehingga melanjutkan lingkaran setan
dan mungkin membawa keluar dari penjara dan ke masyarakat di luar sekolah.

Editorial: Sexual Violence in Prison, Thomas Noll, Int J Offender Ther Comp Criminol 2008; 52; 251, http://www.sagepublications.com

13. Kinsey dalam penelitiannya yang berjudul Sexual Behaviour in the Human Male, menjelaskan bahwa sebagian besar laki-laki populasi, memiliki setidaknya beberapa pengalaman homoseksual antara masa remaja dan usia tua. Selain, sekitar 60 persen dari anak-anak usia pra
terlibat dalam aktivitas homoseksual, dan ada kelompok tambahan laki-laki dewasa yang menghindari terang-terangan kontak tetapi yang cukup sadar potensi mereka untuk bereaksi terhadap laki-laki lain.

Alfred C. Kinsey, Wardell R. Pomeroy, and Clyde E. Martin. Sexual

Behavior in the Human Male. Philadelphia, Pa: W.B. Saunders:

1948: 610-666.

With Enough Cases, Why Do You Need Statistics? Revisiting Kinsey's Methodology Author(s): Julia A. Ericksen Source: The Journal of Sex Research, Vol. 35, No. 2 (May, 1998), pp. 132-140 Published by: Lawrence Erlbaum Associates (Taylor & Francis Group) Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3813665 Accessed: 26/10/2009 05:13