BERJUANG TANPA LELAH---CIPTAKAN RUANG PASAR TANPA PESAING DAN BIARKAN KOMPETISI TAK LAGI RELEVAN (KIM & MAUBORGNE)"

Senin, 26 Maret 2012

“Penjara Bukan Hotel Prodeo”


Kriminolog Universitas Indonesia, Prof. Muhammad Mustopa menilai manajemen lembaga pemasyarakat (LP) di Indonesia buruk. Jika tidak segera dibenahi maka akan menjadi mercon yang sewaktu-waktu siap meledak.


Artikel berikut ini merupakan hasil wawancara Darman Tanjung dari FORUM KEADILAN Online. Wawancara ini menurut saya penting, kritis dan menyentuh akar permasalahan...Semoga kita bisa memaknainya dengan hati dan kepala yang dingin.

Apa yang menjadi penyebab timbulnya kerusahan di dalam penjara atau LP?

Faktor penyebab kerusuhan di LP banyak, terutama soal manajemen LP. Kondisi penjara atau LP di mana saja sama seperti petasan yang setiap saat bisa meledak. Tinggal menunggu pemicunya saja. Kerusuhan di penjara tidak aneh. Di negara-negara lain juga sering terjadi seperti Meksiko atau Brazil. Karena sejatinya orang tidak mau dimasukkan ke dalam penjara. Dan di dalam penjara tidak ada yang alamiah seperti keadaan di luar penjara. Yang pasti penghuni penjara akan berkelompok sesuai kepentingannya, apakah itu persamaan ras dan sebagainya sehingga akan selalu terbentuk kelompok-kelompok yang bersaing satu sama lain. Kerusuhan di penjara bukan hanya terjadi antar kelompok tapi juga dengan sipir atau petugas. Jadi tinggal menunggu pemicunya saja.

Narapidana di LP Krobokan mengeluhkan sipir yang kerap melakukan pungli dan bertindak diskriminatif. Tanggapan Anda?

Itu terjadi di mana-mana. Diskriminasi barang kali itu hanya persepsi saja. Kadang-kadang diskriminasi itu diperlukan untuk menstabilkan penjara. Di penjara yang dihuni oleh orang yang makmur, dia sering mendapat fasilitas khusus dengan memberikan upeti atau bayaran. Tapi seringkali upeti itu juga disalurkan kepada napi yang tidak kaya sehingga terjadi pemeratan. Itu bisa dalam bentuk pemberian makanan dan sebagainya. Contoh konkritnya Ayin, dia dianggap berjasa melakukan proses pembinaan di dalam tahanan. Dengan demikian ketegangan penjara akan berkurang. Tapi yang seharusnya adalah negara memberikan fasilitas minimum di dalam penjara. Namun negara menganggap itu tidak penting.

Setiap kali terjadi kerusuhan di penjara, pemerintah selalu berdalih penjara-penjara kita overload . Jika memang kenyataannya demikian kenapa pemerintah tidak memberikan fasilitas yang memadai?

Memang tidak pernah diberikan. Seperti yang saya bilang tadi, pengambil kebijakan menganggap itu bukan prioritas. Orang-orang dipenjara dianggap seperti tempat pembuangan atau toilet. Dan yang penting lagi pemerintah harus berani membuat peraturan yang tidak populer dengan membatasi penghuni penjara. Pengguna narkoba tidak perlu dipenjara. Ini justru pengguna narkoba yang paling banyak menghuni penjara. Buat apa sih pengguna narkoba dipenjara? Mereka lebih baik di rehabilitasi. Tapi direhabilitasi pun jangan membebani anggaran negara karena, tidak juga ada jaminan orang yang direhabilitasi tidak akan menggunakan narkoba lagi.

Apakah cara itu menurut Anda akan efektif meminimalisir penghuni penjara?

Itu salah satu cara. Di luar negeri umumnya pengguna narkoba bukan dikriminalisasi. Mereka lebih banyak dimasukkan ke panti-panti rehabilitasi. Jadi harus ada pembenahan mendasar.

Tadi Anda mengatakan perlu dilakukan pembenahan mendasar di LP. Pembenahan mendasar seperti apa saja yang harus dilakukan?


Ini menyangkut manajemen LP. Pertama, membatasi jumlah orang yang masuk penjara sehingga tidak over croudit. Tidak usah berpretensi bahwa pembinaan narapidana itu tidak akan mengulangi pelanggaran hukum. Harus ada upaya mengurangi ketegangan di dalam penjara. Artinya, aktivitas di dalam penjara tidak membuat narapidana menjadi tegang. Penjara harus dibuat sebagai industri sehingga narapidana memiliki kesibukan dan akan mengurangi stres. Keuntungan industri di dalam penjara bisa digunakan memperbaiki fasilitas dan kesejahteraan para narapidana. Dengan demikian kebutuhan gizi para narapidana akan tercukupi. Selain itu, setelah bebas mereka juga bisa bekerja. Karena persoalan utama para napi ketika keluar adalah pekerjaan. Saya kira kegagalan pembinaan para narapidana bukan hanya di Indonesia, hampir seluruh penjara-penjara di luar negeri juga gagal melakukan pembinaan terhadap narapidana.

Penjara-penjara kita juga kerap disorot sebagai tempat peredaran narkoba, seks dan judi. Dan konon praktik seperti ini diduga melibatkan oknum petugas. Komentar Anda?


Di dalam penjara berlaku hukum pasar. Ada permintaan pasti ada penawaran. Keterlibatan oknum-oknum sipir tidak bisa dielakkan. Penjara sudah seperti pasar tinggal pilih apa maunya. Padahal penjara itu tidak boleh jual beli. Itu kan terjadi karena kebutuhan pokok narapidana tidak terpenuhi. Orang salah mengatakan penjara adalah hotel prodeo. Memang kesejahteraan pegawai sesuatu yang wajib, tapi ketika narapidana juga tidak sejahtera, pasti akan terus terjadi. Contohnya, dulu ada petugas LP Cipinang yang membebaskan Gunawan, seorang narapidana kasus pembunuhan dengan bayaran Rp 4 juta. Coba bayangkan, petugas tadi gajinya Rp 900 ratus. Untuk ongkos kerjanya sebulan habis Rp 700 ribu, diiming-imingi Rp 4 juta, ya dia terima. Sebenarnya ada standar operasional prosedur yang harus dijalankan. Petugas LP mestinya harus berdomisili radius satu kilometer dari tempat dia bertugas. Sehingga kalau ada masalah bisa segera dimobilisasi. Tapi sekarang kan petugas LP tinggalnya di mana-mana.

Jadi penjara bukan hotel prodeo?


Salah kaprah kalau orang mengatakan penjara hotel prodeo. Orang di dalam penjara itu menikmati fasilitas harus membayar. Cuma bukan dengan cara membayar petugas, tapi bekerja. Harusnya seperti itu, upahnya memang tidak seberapa. Keuntungannya yang digunakan untuk fasilitas di dalam penjara. Industri di dalam LP harus dijalankan secara profesional.

Penjara mana saja yang menerapkan manajemen seperti di Indonesia?


Sebetulnya penjara-penjara kita dibangun pada zaman Belanda diarahkan ke sana. Misalnya LP Cipinang dulu diarahkan untuk industri mebel karena di sana berkembang industri mebel. Kemudian Sukamiskin jadi percetakan, Cirebon untuk tekstil, di Yogyakarta sepatu, di Suarabaya sepatu. Jadi fungsi itu harus dikembalikan lagi.

Semestinya Kementerian Hukum dan HAM sudah mengetahui amburadulnya manajemen LP?


Saya kira tahu. Tapi kan ini sangat tergantung juga dengan pengambil kebijakan yang lain seperti Bappenas dan DPR. Hanya saja karena LP ini dianggap tidak penting maka dianggap tidak menguntungkan mereka. Saya dengar tempo hari Dirjen Lapas itu mendapat dana Rp 1 miliar untuk renovasi atau membangun penjara-penjara baru. Tapi faktanya yang sampai hanya Rp 700 juta. Kemana yang Rp 300 juta.

Artinya, membangun LP baru adalah suatu keharusan mengeliminir overload tadi?

Ya, apalagi sekarang banyak penambahan jumlah kabupaten/kota di mana di sana juga ada Polres, Kejaksaan, Pengadilan Negeri. Makanya salah satu syarat pendirian kabupaten/kota adalah membangun penjara. Misalnya Depok, harusnya ketika menjadi kabupaten, Depok harus punya penjara sendiri. Karena di negara mana pun penjara sebagai bagian fungsi pemerintahan. Karena tidak ada akhirnya tahanan dititipkan ke mana-mana.

Kriminolog: Lapas Tak Sekadar Kelebihan Kapasitas


Analisis Kriminolog Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi ini patut dibaca, dihayati dan direnungkan. Dan sekali lagi ini masalah kita bersama.


TEMPO.CO , Jakarta: Masalah yang terungkap jika terjadi kerusuhan di lembaga pemasyarakatan adalah soal kapasitas dan jumlah penjaga. Padahal menurut kriminolog Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi, penjara tak sekadar bangunan fisik pengukung narapidana.

"Ada budaya dan kehidupan sosial yang seolah tertutupi dengan masalah fisik bangunan," ujar dia ketika dihubungi pada Kamis 23 Februari 2012.

Masalah kelebihan kapasitas dan jumlah sipir yang tak imbang adalah masalah klasik penjara. "Tak hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh dunia," ujar Josias. Tapi persoalan itu memang mayoritas terjadi di penjara-penjara negara dunia ketiga.

Penjara, ujar dia, ada kultur yang hidup seperti halnya masyarakat di luar penjara. Narapidana juga memiliki kebutuhan yang sama dengan manusia bebas lainnya, seperti hiburan dan makanan yang layak. Sementara negara tidak bisa menyediakan fasilitas itu karena keterbatasan dana.

"Maka biasanya timbul kerja sama yang sulit dipahami umum," ujar Josias. Semisal kerja sama antarnapi dan petugas demi mendapat lauk yang lebih enak atau selinting rokok. Petugas terkadang perlu kompromi untuk mengabulkan keinginan para narapidana itu. Tujuannya untuk mengurangi tingkat kekacauan akibat prasarana yang belum memadai.

Situasi ini, Josias mengatakan, tidak dipahami para pejabat di tingkat atas. "Bagi mereka, penjara itu harus ketat dan tegas," katanya. Sementara fasilitas belum cukup dan memadai. Potensi untuk rusuh pun menjadi besar. "Maka petugas di lapangan biasanya melakukan penyesuaian atau adaptasi," katanya.

Sesuai dengan judulnya, "lembaga pemasyarakatan", menurut Josias, harusnya fokus pemerintah adalah pengembangan sosial agar tahanan bisa kembali ke masyarakat lagi. "Tapi ukuran seberapa sosial dan seberapa layaknya program pembinaan ini juga masih diperdebatkan," kata dia.

Yang perlu diingat pemerintah adalah di dalam penjara ada budaya yang sudah langgeng dan diwariskan karena menghadapi keterbatasan yang ada. Kalau sekadar mengubah struktur lapas atau aturan yang berlaku, tanpa menyentuh kehidupan sosial, kata Josias: "Akan sia-sia."

Kerusuhan pecah di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Bali, Rabu, 22 Februari 2012, sekitar pukul 22.30 waktu setempat. Ini kelanjutan dari kerusuhan pada Ahad, 19 Februari 2012 dan Selasa, 21 Februari 2012. Narapidana melemparkan batu dan bom molotov ke petugas, sehingga petugas meninggalkan lembaga pemasyarakatan.

Minggu, 25 Maret 2012

Karutan Kebonwaru Bantah Kantor Asimilasi Ariel Fiktif




Bandung - Kepala Rutan Kebon Waru Wahid Husein menyangkal keras laporan Tabloid Femme yang menyebut kantor tempat Ariel menjalani asimilasi fiktif alias jadian.



"Itu enggak benar. Perusahaan tempat Ariel kerja saat ini sudah kami verifikasi. Bahkan, tim Balai Pemasyarakatan juga sudah mengecek perusahaannya sebelum Ariel bekerja dalam rangka asimilasi," papar Wahid saat dihubungi detikBandung, Kamis (22/3/2012).

Wahid menegaskan, PT G-Art Indonesia mengajukan ke Rutan Kebon Waru untuk mencari tenaga kerja sesuai kriteria yang diinginkan. Karena bergerak di bidang arsitektur, pihak rutan mengajukan beberapa nama warga binaan yang masuk proses asimilasi, termasuk Ariel.

Pelantun 'Bintang di Surga' itu dan beberapa kandidat kemudian memberikan portfolio. Ariel yang pernah mengambil jurusan arsitektur di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung itu akhirnya terpilih.

Lebih jauh Wahid menuturkan, perusahaan tempat Ariel kerja menjalani asimilasi memiliki dua kantor. Yakni, di Jalan Belimbing dan Jalan Djuanda (Dago). Mengenai tidak adanya plang nama perusahaan, Wahid juga punya penjelasan.

"Tidak terpasangnya plang perusahaan, kami berpikir hal itu untuk menghindari hal tak diinginkan. Tahu 'kan kalau Ariel selama ini sebagai publik figur," ujarnya.

Tabloid Femme edisi 19 yang terbit Kamis (22/3/2012) melaporkan beberapa fakta yang menunjukkan bahwa ada dugaan Ariel kerja di kantor gadungan. Bahkan dalam tabloid tersebut dijelaskan bahwa kantor konsultan arsitektur tempat Ariel bekerja itu baru didirikan setelah asimilasi diberikan.

Sumber : DETIK

Napi Berduit Nyaman di Penjara

(Lagi) Kamar Mewah dan Kantor Asimilasi Fiktif


Minggu ketiga di bulan Maret 2012 ini ada dua berita "HOT" mengenai Lapas/Rutan di Indonesia. Lagi dan lagi tentang fasilitas kamar hunian "MEWAH" yang dinikmati oleh sebagian kecil tahanan/narapidana heboh di dunia maya dan media elektronik. Selanjutnya adalah "isu" yang menyebutkan bahwa kantor asimilasi tempat vokalis Peter Pan; Ariel bekerja adalah fiktif alias "bodong".

(Andhika Gumilang, Gayus Tambunan, Fikar Malik)

(Fasilitas yang dimiliki oleh Fikar Malik di Kamar huniannya)


Berkenaan dengan pemberitaan tersebut Kementerian Hukum dan HAM melalui Wamenkumham menjelaskan bahwa fasilitas tersebut memang ada. Wamenkumham menuding kelebihan kapasitas narapidanalah yang membuat para tahanan berduit gampang menyuap petugas lapas untuk mendapat kenyamanan. Namun demikian Denny menegaskan pihaknya akan terus melakukan pembinaan bekerja sama dengan instnasi lain.

Berita Terkait :


Pelatihan sambil Praktek (Refleksi & Barbershop) @Giatja Lapas Salemba















(Praktek Barbershop selain menggunakan boneka, juga peserta pelatihan harus siap jadi "kelinci percobaan")


(Petugas dan WBP lain secara sukarela menjadi "kelinci percobaan" peserta pelatihan Refleksi)



(Saya pun tidak ketinggalan mencoba,...hasilnya lumayan...membuat ngantuk dan enak tidur)

Selasa, 20 Maret 2012

Dinda Kanya Dewi and Friends @Lapas Salemba

Dinda Kanya Dewi masuk penjara???....jangan negatif dulu....iya benar dia masuk lapas tepatnya Lapas Klas IIA Salemba Jakarta..bukan karena sedang berperkara hukum melainkan dalam rangka kegiatan perkuliahannya di Universitas Paramadina.



Dinda datang bersama rekan-rekannya dan didampingi dosennya yaitu Baby Jame Aditya. Kunjungan ke lapas ini untuk praktek mata kuliah Psikologi Klinis. Kegiatan mereka selain melihat langsung kondisi lapas, melakukan wawancara kepada beberapa narapidana dan tentunya berkunjung ke Balai Latihan Kerja (BLK) Lapas Klas IIA Salemba Jakarta.


Pada gambar terlihat begitu antusiasnya Dinda dan teman-teman terhadap hasil karya para narapidana. Dinda pun sempat mencoba menuangkan ketrampilannya untuk kegiatan pembuatan wayang dari biji-bijian. saking tertariknya Dinda akhirnya membeli salah satu produk wayang tersebut, seperti yang terihat pada gambar dimana Dinda memegangnya.


Senin, 19 Maret 2012

Pembukaan Pelatihan BarberShop dan Refleksi bagi Narapidana di Lapas Klas IIA Salemba Jakarta

(Kalapas, Puspa Antariksa, Ketua Panitia)

Work programs known as prison industry have a different purpose, which is to produce goods for the marketplace. Through the years, prison industry has been utilized to meet a varienty of goals, including : To make aprofit for the prison, To reduce idle time, To enforce prison discipline, To punish, and To rehabilitate (Snarr, 1996 : 164)

(Narapidana Peserta Kegiatan)

Kutipan kalimat diatas menunjukkan betapa pentingnya pemberian kegiatan pembinaan kemandirian bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan. Kegiatan pembinaan kemandirian tersebut bisa berbentuk bekerja pada bengkel-bengkel kerja pada kegiatan produktif maupun penyelenggaraan pelatihan sebagai bekal bagi narapidana untuk bekerja ketika bebas nantinya.

(Menyanyikan lagu Indonesia Raya)

Salah satu bentuk kegiatan pelatihan yang diselenggarakan di Lapas Klas IIA Salemba Jakarta adalah pelatihan barbershop dan refleksi bagi narapidana kerjasama dengan LPK Puspa Antariksa Jakarta. Pelatihan ini dibuka pada hari Selasa, tanggal 20 Maret 2012 oleh Kepala Lapas Klas IIA Salemba Jakarta Bapak A. Yuspahruddin, Bc. IP, SH, MH.

(Laporan Ketua Panitia)

Kegiatan pelatihan dilaksanakan selama 8 (delapan) hari kerja dari tanggal 20 Maret 2012 hingga 30 Maret 2012 berlokasi di Balai Latihan Kerja (BLK) Lapas Salemba (Griya Suroso). Pelatihan diikuti oleh 46 narapidana, yang terdiri dari 23 orang pelatihan barbershop dan 23 orang pelatihan refleksi.

(Panitia acara Pembukaan)
(Sambutan dari LPK Puspa Antariksa)

(Sambutan Kalapas Salemba)

Berdasarkan laporan ketua panitia penyelenggara Bapak Aldikan Nasution, Bc. IP, SH, MSi bahwa tujuan kegiatan ini adalah :

  1. untuk memberikan kesempatan kepada narapidana untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan.
  2. Menjadikan sarana bagi narapidana untuk senantiasa berperilaku baik, disiplin dan tertib selama menjalani pidana.
  3. Mempersiapkan narapidana agar dapat hidup mandiri setelah selesai menjalani pidananya, sehingga keterampilan yang diperoleh dapat diaplikasikan ditengah-tengah masyarakat.

(Penyematan tanda peserta pelatihan)
Hasil yang hendak dicapai melalui kegiatan ini antara lain :

  • Setiap peserta pelatihan yang lulus, akan mendapatkan sertifikat pelatihan beserta sertifikat tes kompetensi yang dikeluarkan oleh LPK Puspa Antariksa.
  • Pelatihan yang dilaksanakan akan dipilih enam orang peserta terbaik, untuk selanjutnya diarahkan menjadi tutor bagi narapidana lainnya.
  • Selain itu juga, narapidana yang telah lulus dan terampil dalam pijat refleksi dan Barbershop, nantinya direncanakan akan di karyakan untuk pijat refleksi dan pangkas rambut baik di dalam Lapas maupun asimilasi sekitar Lapas.

(Pembacaan Doa)
(Undangan Pejabat Struktural)

(Pembekalan awal dari LPK Puspa Antariksa)

Selasa, 13 Maret 2012

Duh! Tahanan Narkoba Kepergok Pakai Sabu di Rutan Salemba


Jakarta Tahanan Rutan Salemba, Jakarta Pusat, tertangkap menggunakan sabu di sel nya. Selain itu, polisi juga menemukan bong dan sabu sisa dipakai sebesar 0,9 gram.
"Kejadian tadi malam pukul 02.00 WIB, dini hari tadi, mereka menggunakan sabu di dalam sel," kata Kanit Reskrim Polsek Cempaka Putih, AKP Gozali Luhulima, saat ditemui wartawan di Mapolsek Cempaka Putih, Jl Letjend Suprapto, Jakarta, Selasa (13/3/2012).
Kedua tersangka tersebut atas nama Bobi dan Akuang. Mereka merupakan tahanan Polres Jakbar, yang sudah divonis 5 tahun penjara karena terkena kasus narkoba.
"Mereka berdua sudah jalani masa tahanan sekitar 3 tahunan," terangnya.
Kejadian bermula ketika kedua tersangka tersebut sedang menggunakan narkoba di dalam ruang tahanannya. Sipir yang curiga pun mengecek sel mereka. Kedua orang ini pun langsung diciduk oleh sipir dan diserahkan ke Polsek Cempaka Putih.
"Mereka ditangkap oleh dua sipir penjara, yaitu Wisnu dan Hamtari, setelah ditangkap kita geledah ruangannya dan temukan sabu 0,9 gram," papar Gozali.
Gozali menambahkan, kedua tahanan tersebut akan dijerat hukuman yang berbeda, sehingga masa tahanannya akan ditambahkan.
"Mereka terancam pasal 112 KUHP tentang narkoba, setelah menjalani masa tahanan di kasus sebelumnya," imbuhnya.

Sumber : DETIK

Senin, 12 Maret 2012

Pukat UGM : Putusan Remisi PTUN Keliru


Jakarta - Oce Madril, Direktur Advokasi Pukat Universitas Gajah Mada (UGM) menilai, dikabulkannya gugatan moratorium remisi koruptor oleh majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta merupakan langkah keliru.

"Saya kira pertimbangan putusan PTUN itu karena majelis hakim gagap pemahaman asas hak asasi, pemerintahan yang baik, pembebasan bersyarat, dan remisi. Itu kekeliruan yang sangat nyata," tandasnya, di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (10/3).

Menurutnya, jika putusan majelis hakim mengacu pada UUD 1945 yang menyatakan hak asasi melekat sejak lahir, namun korupsi bukan bawaan dari lahir, sehingga pertimbangan hukum tidak nyambung karena tidak memahami konsep hak asasi, pembebasan bersyarat, dan remisi.

Selain itu, kebijakan ini mempunyai landasan hukum karena ada PP dan aturannya. Karena itu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia harus mengajukan banding.

"Banding untuk menegakkan hukuman koruptor dan agar kebijakan ini tidak dicap sebagai pencitraan. Logika dan alasan hukum hakim harus ditantang lagi. Kalau perlu, hakimnya dilaporkan ke MA," tegasnya.

Menurutnya, memang remisi adalah salah satu hak terpidana sesuai diatur pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Namun, walaupun demikian, untuk mendapatkan remisi bukan hanya mengacu pada ayat (1), tapi juga harus membaca ayat (2) pasal tersebut yang menyatakan, syarat tersebut diatur peraturan pemerintah, yakni harus mendapat izin dari Dirjen Pemasyarakatan.

"Untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dalam memberikan remisi, maka Menhukham yang harus mengambil langkah," ungkapnya.

Remisi diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 undang-undang itu menyebutkan, salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana atau remisi.

Pelaksanaan undang-undang ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Remisi diberikan kepada narapidana yang berkelakuan baik selama di penjara dan telah menjalani hukuman minimal selama enam bulan. Bagi narapidana korupsi, berlaku ketentuan khusus.

Pasal 34 ayat 3 PP No. 28/2006 mengatur bahwa remisi baru dapat diberikan setelah menjalani sepertiga masa hukuman pidana. Ketentuan ini juga berlaku untuk terpidana kasus terorisme, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya. [IS]

Sumber : GATRA

Inilah Kelemahan Putusan PTUN Terkait Remisi Koruptor Versi 7 LSM


Ahmad Toriq - detikNews
Senin, 12/03/2012 20:23 WIB

Jakarta Sebanyak tujuh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menemukan beberapa kelemahan putusan majelis hakim pada kasus gugatan moratorium remisi koruptor. Inilah beberapa kelemahan tersebut versi Koalisi Masyarakat Sipil.
"Kami menemukan beberapa persoalan mendasar pada putusan hakim PTUN yang mengabulkan gugatan aturan pengetatan pembebasan bersyarat untuk koruptor," kata Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alvon Kurnia Palma.
Alvon menyampaikan hal tersebut dalam acara rilis media Persoalan Putusan PTUN Pengetatan Remisi dan Pembebasan Bersyarat Untuk Koruptor di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jl Diponegoro, Jakarta, Senin (12/3/2012).
Kajian mengenai putusan tersebut dilakukan oleh tujuh LSM yang menamakan dirinya Koalisi Masyarakat Sipil. Ketujuh LSM tersebut terdiri dari Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Indonesian Legal Rountable (ILR), Transparancy International Indonesia (TII), Indonesian Corruption Watch (ICW), Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM (Pukat UGM), dan Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Pada paparan hasil kajiannya, Koalisi Masyarakat Sipil diwakili oleh Direktur YLBHI Alvon Kurnia Palma, Koordinator MTI Jamil Mubarok, Koordinator Div. Hukum ICW Febri Diansyah, dan Peneliti ILR, Refki Saputra. Beberapa kelemahan putusan hakim menurut Koalisi Masyarakat Sipil diantaranya:
1. Hakim tidak berwenang memeriksa perkara ini karena bukan objek tata usaha negara. SK pembebasan bersyarat dari Kemenkum HAM dinilai belum final dan masih dapat diperbaiki. Sehingga SK tersebut seharusnya tidak dapat diajukan ke PTUN.
2. Hakim tidak cermat dan tidak mampu mengklasifikasikan perbedaan mendasar dari para penggugat. Dari tujuh penggugat, tiga orang diantaranya bisa diklasifikasikan pembebasan bersyaratnya belum dilaksanakan. Karena tanggal pembebasan bersyaratnya sebelum tanggal dikeluarkannya SK pengetatan remisi pada 16 Nopember 2011. Sedangkan empat penggugat lainnya masih belum jatuh tempo pembebasan bersyaratnya. Sehingga seharusnya belum merasa dirugikan dan tidak seharusnya melakukan gugatan.
3. Mengacu pada poin 2, Seharusnya hakim menerbitkan putusan sela dan menyatakan tidak menerima gugatan sebagian penggugat.
4. Hakim salah menerapkan hukum. Hakim menggunakan pasal 24 ayat (1), (4) dan pasal 25 ayat (2) Permenkumham M.01 tahun 2007. Padahal pasal tersebut hanya bisa diterapkan jika pembebasan bersyarat sudah dilakukan, yaitu jika terpidana sudah di luar lapas. Dalam kasus ini pembebasan bersyarat belum dilakukan.
5. Hakim menggunakan aturan lama tanpa menyebutkan perubahan aturan tersebut. Peraturan yang dimaksud adalah Permen Hukum dan HAM No. M.01.PK.04-10 tahun 2007. Padahal Permen tersebut sudah diganti dengan No. M.HH-02.PK.05.06 tahun 2010.
6. Hakim tidak mampu membedakan antara Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam UUD 1945. HAM merupakan hak kodrati dan bukan pemberian siapa-siapa. Sedangkan hak narapidana adalah hak yang diberikan oleh negara.
7. Hakim tidak mempertimbangkan aspek pemberantasan korupsi sebagai salah satu pertimbangan substansial.
8. Hakim mengesampingkan keterangan ahli dengan alasan ada pertentangan antara keterangan ahli dari pihak penggugat dan tergugat.

Sumber : DETIK