Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (DITJENPAS) dalam operasionalnya di lapangan, tugas dan fungsinya dilaksanakan oleh Rumah Tahanan Negara (RUTAN), Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN), Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), dan Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Uraian selanjutnya akan disusun sebagai berikut :
a. Dalam KUHAP pasal 22 dinyatakan bahwa jenis penahanan dapat berupa penahanan RUTAN,Penahanan rumah dan penahanan kota.
Dalam hal ini berarti bahwa selalu alternative bagi instansi yang berwenang untuk menggunakan pilihannya dalam menetapkan jenis penahanan tersebut. Namun yang ingin digarisbawahi adalah bahwa menurut hemat saya, jenis penahanan rutan adalah jenis penahanan yang harus digunakan secara selektif. Satu dan lain hal karena seperti saya sebutkan di muka, bahwa jenis penahanan Rutan dalam pelaksanaanya lebih mudah atau cenderung untuk terjerumus ke dalam pelanggaran hak asasi manusia. Manfaat inikan lebih terasa apabila dilihat dari segi biaya, dimana penahanaan rumah dan jenis penahanan kota tidak perlu mengeluarkan biaya makan dan akomodasi untuk si tersangka/terdakwa seperti kalau dikenakan kepada jenis penahanan Rutan. Jadi kalau dilihat dari segi anngaran Negara, tindakan selektif untuk mengenakan jenis penahanan Rutan adalah sangat terpuji di damping untuk mengurangi resiko melakukan tindakan pelecehan terhadap martabat manussia. Hal ini sesuai pula dengan anjuran dari Prof. Mr. Roeslan Saleh dalam bukunya yang berjudul dari Lembar Kepustakaan Hukum Pidana, yaitu menyerukan agar dalam menggunakan hukum pidana, kita harus bersikap menahan diri di damping teliti sekali (10:38)
b. Berdasarkan KUHAP pasal 22 seprti tersebut di atas maka hannya dikenal 3 macam jenis penahanan saja. Jadi pada prinsipnya KUHAP tidak mengenal jenis penahanan polisi,penahanan jaksa dan penahanan hakim yang diatur dalam HIR.
Hal ini berarti bahwa tempat penahanan hanya ada di Rutan yakni tempat tersangka atau terdakwa di tahan selama proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan (PP @&/1983 pasal 1 ayat 2). Sedangkan dalam pasal 21 dinyatakan bahwa Rutan dikelola oleh Departemen Kehakiman (dalam hal ini Cq. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan)
Kedudukan yang diatur tersebut di atas memang sudah pada tempatnya,karena apabila kedudukan Rutan juga dibolehkan dikelola oleh instansi yang berwenang secara yuridis, maka dikhawatirkan akan membawa dampak yang kurang baik terhadap perlindungan hak-hak asasi tersangka/terdakwa. Hal tersebut disebabkan karena dengan disatukannya fungsi penyidikan dan fungsi penuntutan dengan fungsi pelaksanaan penahanan maka salah satu prinsip KUHAP yakni system cekking diantara sesam pnegak hukum (dalam hal ini antara pemasyarakatan dengan instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan) tidak akan terjadi. Keadaan ini sudah barang tentu akan memudahkan terjadinya hal-hal yang tidak di inginkan, misalnya :
1) Dalam PP 27/1983 pasal 19 (4) dinyatakan bahwa kepala Rutan tidak boleh menerima tahanan dalam Rutan jika tidak disertai surat penahanan yang dikeluarkan pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan itu,sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Dapat di bayangkan apabila Kepala Rutan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penahanan itu adalah bawahan atau rekan satu korps. Dengan kondisi ini dapat timbul pertanyaan apakah ketentuan tersebut efektif dalam pelaksanaanya ? Jawabannya memang belum tentu efektif. Akan tetapi kita semua merasa khawatir bahwa sesuatu hal justru akan terjadi sebaliknya, dikarenakan tidak berfungsinya system cekking diantara instansi penegak hukum yang terkait. Sedangkan kita mengetahui bbahwa pasal tersebut dimaksudkan agar setiap tindakan dari pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis apabila ingin melakukan penahanan Rutan kepada seseorang ia harus memenuhi syarat-syarat subyektif (pasal 21 ayat 1 KUHAP).Karena kalau tidak demikian maka surat penahanan tersebut dapat dikatagorikan sebagai surat penahanan yang cacat hukum dan oleh sebab itu tidak sah, dan orang tersebut harus ditolak dimasukkan dalam Rutan.
Jadi untuk jelasnya memang sangat diperlukan adanya pemisahan fungsi tersebut, sehingga masing-masing instansi terkait dapat saling mengawasi satu sama lain.Dengan demikian ketentuan seperti yang tercantum dalam penjelasan KUHAP pasal 22 yang menyatakan bahwa selama belum ada Rutan maka tempat lain dapat dianggap Rutan, harus dihindari sejauh mungkin dan hannya dipergunakan apabila benar-banar dalam keadaan darurat.Berhubung hal tersebut akan membawa preseden yang kurang bail bagi citra penegakan hukum di indonesia.
2) Dalam PP 27/83 pasal 21 ayat 2 dinyatakan bahwa tanggung jawab yuridis atas tahanan ada pada pejabat yang menahan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Dalam ayat 3 dinyatakan bahwa tanggungjawab secara fisik atas tahanan ada pada kepala Rutan.
Subtansi dari pengaturan tersebut di atas adalahdalam pemisahan fungsi yang apada gilirannya dapatmelancarkan proses saling cekking diantara aparat penegak hukum. Dapat dibayangkan apabilaorang yang bertanggung jawab secara fisik tersebut adalahpejabat yang berkepentingan dengan hal-hal yang bersangkut paut dengan keterangan (pengakuan) tersangka/terdakwa.
Bukankah lebih muda terjadi peristiwa ‘Penganiayaan’tersangka di tempat tahanan oleh pejabat yang berkepentingan dengan pengakuan tersangka,ketimbang pemeriksaan yang dilakukan di tempat Rutan semestinya.Lain halnya kalau di Rutan yang semestinya , sudah barang tentu pejabat Rutan yang semestinya, sudah barang tentu pejabat Rutan bertanggung jawab secara fisik tidak rela kalau dalam pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang secara yudiisil,si tahanan dilakukan melalui penyiksaan fisik. Dengan tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam Rutan juga akan terjadi penganiayaan oleh pegawai terhadap tahanan, tetapi bukankah pengawasan juga dilakukan oleh pihak lain yakni keluarga, penasehat hukum atau mala oleh pejabat yang berwenang menahan itu sendiri.
Disamping itu peranan penasehat hukum dalam pendampingan kliennya akan leluasa jika pertemuan dilakukan di tempat yang lebih netral yakni Rutan dan bukan tempat tahanan berada dalam pengawasan yang bertanggung jawab secara yudisiil yang nyata-nyata, secara tugas dan fungsi satu sama lain saling bertentangan. Secara strategis dan psikologis penempatan tahanan di Rutan dapat memberi akses yang luas terhadap dipenuhinya hak tersangka dan terdakwa untuk di dampingi penasehat hukumnya.
Dari contoh di atas, sudah jelas bahwa peranan system cekking dalam pelaksanaan KUHAP akan sangat bermanfaat bagi perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa.
c. Berdasarkan PP27/1983 pasal 19 ayat 7 dinyatakan bahwa kepala Rutan demi hukum mengeluarkan tahanan yang telah habis masa penahanannya atau perpanjangan penahanannya.
Kewenangan tersebut di atas mendudukkan posisi pemasyarakatan ke arah yang lebih nyata dalam kaitannya dengan penegakkan hukum dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Terutama sangat dirasakan bahwa “kewenangan hukum” ini tidak dimiliki oleh pemasyarakatan dalam jama HIR. Keadan ini dulu menjadikan pemasyarakatan hannya sebagai “bak sampah” yang tidak memiliki kewenangan apapun kecuali mengikuti saja apa yang di inginkan oleh instansi yang berwenang melakukan penahanan. Pengaruh dari situasi “tempo dulu” sampai saat ini masih merupakan kewenangan yang “impoten” disebabkan adanya ketentuan-ketentuan yang lain, misalnya Kesepakatan Ujung pandang dan Kesepakatan Yogyakarta, yang mengatur sedemikian rupa sehinnga kewenangan tersebut tidak dapat berjalan secara efektif.
Walaupun eksistensi dari kesepakatan-kesepakatan tersebut mempunyai alasan-alasan pembenaran, namun demi perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa, keadaan ini harus segera di akhiri. Karena tidak sesuai dengan bunyi pasal 5 Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 34/169 tanggal 17 Desember 1979 tentang Aturan tingkah laku bagi petugas penegak hukum (lihat Bab B nomor 10)
Dalam penjelasan PP 27/1983 pasal 19 ayat 7 diberikan kewenangan kepada Kepala Rutan untuk memperingatkan kepada pejabatyang bertanggung jawab secara yuridis tentang habisnya masa tahanan tersebut. Hal tersebut berarti peringatan Kepala Rutan tersebut mempunyai “daya paksa” kepada polisi,jaksa,hakim, bahkan hakim agung untuk mengindahkan peringatan itu. Karena kalau tidak, maka tahanan tersebut “harus” dikeluarkan dari Rutan demi hukum.
Jadi jelasnya, tugas dan fungsi Rutan disamping melaksanakan tugas-tugas perawatan dan pelayanan terhadap kepentingan tersangka/terdakwa yang menjadi tanggung jawabnya (perawatan kesehatan, makanan, tempat tidur yang layak, perawatan rohani dan jasmani, mendapat kunjungan dari keluarga dan penasehat hukum dan lain-lain), maka ia juga mempunyai kewenangan-kewenangan hukum yang dijamin oleh undang-undang dalam rangka melindungi harkat dan martabat tahanan tersebut.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa peraturan peundang-undangan yang berlaku telah memberikan “kedudukan” yang strategis kepada pemasyarakatan untuk ikut serta dalam penegakan hukum yang berwajah manusiawi dibandingkan dengan masa HIR berlaku.