1. Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara
Dalam PP 27/1983 dinyatakan bahwa di dalam Rupbasan di tempatkan benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan,pnuntutan, dan pemeriksaan berdasarkan putusan hakim (psl 27 ayat 1). Benda sitaan disimpan di Rupbasan untuk menjamin keselamatan dan keamanannya (pasal 27 ayat 3).Ripbasan dikelola oleh Departemen Kehakiman. Tanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan tersebut, ada pada pejabat sesuai dengan tingkat pemeriksaan.Tanggung jawab secara fisik ada pada Kepala Rupbasan (pasal 30)
Tujuan dari ketentuan diatas,agar supaya dapat dihindarkan adanya penyalahgunaan terhadap barang bukti dan barang sitaan negara. Yaitu melalui upaya pemisahan fungsi antara pejabat yang bertanggung jawab secara fisik atas barang tersebut. Pemisahan fungsi ini dimaksudkan tidak lain adalah agar dimungkinkannya system saling cekking diantara kedua belah pihak, sehingga setiap pejabat dapat saling mawas diri dan tidak terjerumus ke dalam penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi.
Namun sangat disayangkan bahwa walawpun peraturan tersebut sudah berjalan kurang lebih 25 tahu, akan tetapi sampai saat ini operasionalisasi tugas dan fungsi Rupbasan tersebut sangat jauh dari harapan. Sampai saat ini masih ada kesan bahwa pihak yang bertanggung jawab secara yuridis tidak rela untuk menyerahkan pengelolaan barang bukti dan barang sitaan tersebut.
Terlepas dari berbagai alasan yang menjadi justifikasi dari ttindakan-tindakan tersebut, sudah barang tentu keadaan ini tidak kondusif terhadap upaya-upaya penegakan hukum di indonesia yang bertekad untuk memberi sentuhan manusiawi sebagai penjabaran nilai-nilai Pancasila.
2. Lembaga Pemasyarakatan
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan Pemasyarakatan berdasarkan system, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari system pemidanaan dalam tata peradilan pidana (pasal 1 UU No.12 tahun 1995).
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkann kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehinnga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab (pasal 2 ayat 1 UU No. 12/1995)
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa tindakan intitusionalisasi (pemenjaraan) dapat membawa dampak yang destruktif yang disebabkan adanya “gaya yang bekerja, secara struktural, sedemikian rupa” di dalam tembok LP sehingga menimbulkan pengaruh yang negatif, yaitu berupa teekontamiminasinya nilai-nilai sub kebudayaan penjara (proses prisonisasi) dan terkena proses labiling (stigmatisasi) yang pada gilirannya dapat menumbuhsuburkan proses residivisme (pengulangan perilaku melanggar hukum).
Dengan menyadari adanya kemungkinan-kemungkinan tersebut diatas, dimana kalau dibiarkan akan menjadikan tindakan penghukuman tersebut (yang merupkan rangkaian dari proses penegakan hukum) mengarah kepada proses yang tidak memanusiakan manusia, maka Undang- undang nomor 12 tahun 1995 telah mengariskan hak-hak yang dimiiliki oleh warga binaan pemasyarakatan, tanpa kecuali. Adapun hak-hak tersebut antara lain:
a) Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
b) Mendapat perawatan, baik perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
c) Mendapat pendidikan dan pengajaran,
d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak,
e) Menyampaikan keluhan
f) Mendapatkan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.
g) Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya
h) Mendapatkan Pengurangan masa pidana
i) Mendapatkan kesemptan berasimilasi
j) Mendapatkan Pembebasan bersyarat
k) Mendapatkan cuti menjelang bebas dan
l) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila kita tinjau lebih mendalam, terutama dalam kaitannya dengan hak-hak yang diatur dalam huruf h sampai dengan huruf l,dimana kesemuanya itu merupakan hak untuk berasimilasi dan berintegrasi dengan masyarakat beserta seluruh nilai dan norma yang berlaku, maka di kandung maksud agar pengaruh proses prisonisasi dan proses stigmatisasi selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat diperkecil. Dengan adanya ketentuan di atas, di mana hak-hak terpidana telah di cantumkan secara tegas di dalam undang-undang, mengisyaratkan adanya suatu kepastian hukum bahwa setiap petugas pemasyaratkan “wajib” memberikan pelayanan seoptimal mungkin agar salah satu tujuan dari pennegakan hukum yakni dalam rangka “memanusiakan manusia” dapat tercapai.
Namun yang masih menjadi kendala yang dihadapi oleh pemasyarakatan untuk melayani hak-hak warga binaan pemasyarakatan untuk melayani hak-hak warga binaan pemasyarakatan adalah yang menyangkut sarana dan prasarana termasuk biaya, yang masih sangat terbatas sehingga upaya tersebut masih dirasakan kurang efektif. Disamping itu fungsi hakim pengawas dan pengamat seperti yang diatur dalam KUHAP pasal 280, yang nota bene merupakan perwujudan semangat system chekking dalam suatu proses ke-sistem-an penegakan hukum, sampai saat ini belum mendapat penilaian, melalui wewenang pengawasan dan pengamatannya di dalam Lembaga Pemasyarakatan, belum dapat dirasakan secara optimal, terutama dalam proses re-evaluasi sampai sejauh mana ketepatan pemberian hukuman yang dijatuhkan oleh seorang hakim bermanfaat bagi upaya perbaikan dan pembinaan yang dilakukan terhadap seorang terpidana.
3. Balai Pemasyarakatan
Balai Pemasyarakatan adalah unit pelaksana teknis Pemasyarakatan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi pembimbingan kepada klien, yang meliputi :
· Klien yang sedang melaksanakan proses pembinaan cuti menjelang bebas
· Klien yang sedang melaksanakan proses pembinaan pembebasan bersyarat
· Anak sipil, anak Negara dan narapidana anak.
Dalam kaitannya dengan pelaku kejahatan yang masih di bawah umur (anak nakal), system peradilan di Indonesia telah mempunyai mekanisme guna melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan kepada anak, yakni melalui Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Perlakuan terhadap pelaku kejahatan yang masih di bawah umur (anak nakal), baik dalam proses peradilannya, proses penyidikannya,proses penuntutannya maupun cara penempatannya di Lembaga Pemasyarakatan dilaksanakan secara khusus , guna mencegah dampak negative dari jalannya proses penegakan hukum seperti disebutkan di muka.
Untuk itu dalam pasal 59 UU nomor 3/1997 dinyatakan bahwa hakim dalam memberikan keputusannya “wajib” mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka putusan dinyatakan “batal demi hukum” (penjelasan pasal 59)
Laporan Penelitian Kemasyarakatan adalah sebuah laporan yang berisi tentang hasil penelitian mengenai riwayat hidup klien yang menyangkut latar belakang social,ekonomi,kejiwaan,sebab sebab mengapa klien melakukan perbuatan melanggar hukum dan lain-lain.Laporan ini di buat oleh petugas Pembimbing kemasyarakatan agar dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam memberikanputusannya. Sehingga diharapkan putusan hakim tersebut dapat lebih efektif bagi pelaksanaany pembimbingannya. Dismping itu fungsi Laporan Penelitian Kemasyarakatan dapat dipergunakan pula untuk membantu memperlancar tugas-tugas penyidik dan penuntut umum agar tindakan-tindakan yang akan dikenakan kepada pelanggar hukum yang masih muda tersebut lebih tepat karena di dukung oleh data yg objektif dan komprehansif.
Berhubung pentingnya laporan Penelitian Kemasyarakatan ini bagi aparat yang terkait, maka disadari bahwa kualitas dari pembuatan laporan tersebut harus profesional dalam arti bahwa laporan itu harus obyektif dan tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan yang bersifat pribadi apalagi dibuat dengan menyalahgunakan wewenang.
Dalam kaitan ini peranan petugas Balai Pemasyarakatan lebih bersifat memberikan bantuan kepada penegak hukum lainnya, dengan satu tujuan agar fungsi manifest dari penegakan hukum tidak menjadi dominan tapi dapat di eliminir sedemikianrupa sehingga tujuan hukum dapat dicapai.