PEMBERIAN PELAYANAN HAK ATAS MAKANAN DAN KESEHATAN TERHADAP TAHANAN/NARAPIDANA WANITA DI RUTAN KLAS IIA PONDOK BAMBU JAKARTA TIMUR DIHUBUNGKAN DENGAN PRINSIP-PRINSIP STANDARD MINNIMUM RULES (SMR)
A. Latar Belakang Permasalahan
Rangkaian proses dalam Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu rangkaian proses yang dapat diibaratkan sebagai suatu ban berjalan. Proses tersebut dimulai dengan penyidikan, pendakwaan, pemeriksaan di depan sidang pengadilan, pelaksanaan keputusan, hingga pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Proses dari penyidikan hingga pengadilan merupakan proses dimana seseorang berstatus sebagai tersangka/terdakwa dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu tindakan penahanan biasanya dilakukan oleh pihak yang berwenang. Adapun dasar penahanan menurut pasal 20 KUHP, adalah karena:
1. Tersangka/terdakwa dikhawatirkan melarikan diri;
2. Tersangka/terdakwa dikhawatirkan merusak atau menghilangkan barang bukti;
3. Tersangka/terdakwa dikhawatirkan akan melakukan tindak pidana lagi. (Loqman. 1996: 44).
Dalam praktek peradilan suatu perkara pidana, instansi yang sering mendapatkan permasalahan adalah pada pihak yang secara fisik menahan atau dalam hal ini rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan. Sengketa tentang keabsahan penahanan seorang tersangka atau terdakwa merupakan isu yang sering mengemuka saat ini. Sikap kritis para tahanan dan pengacara dalam membela kliennya telah berkembang seiring dengan tuntutan reformasi di bidang hukum.
Dalam kaitan ini, maka bagi tahanan sangat penting untuk mengetahui akan hak dan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor. 8/1981 bahwa Sistem Peradian Pidana memiliki asas-asas sebagai berikut :
- Perlakuan yang sama di depan hukum bagi setiap orang (equality before the law);
- Praduga tidak bersalah (presumption of innocence);
- Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
- Hak adanya kehadiran terdakwa di depan persidangan;
- Peradilan bebas dilakukan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan;
- Perdilan terbuka untuk umum;
- Pelanggaran hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah tertulis;
- Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan dakwaan terhadapnya; dan
- Kewajiban pengadilan untuk mengamati pelaksanaan putusannya.
Tahanan di dalam Rutan sebenarnya sama seperti orang yang berada di luar Rutan, hanya saja mereka kehilangan kemerdekaan bergerak sehingga perlakuan terhadap mereka harus sama seperti perlakuan orang yang tidak bersalah tanpa membedakan kejahatan yang dituduhkan kepada mereka. Namun apapun kondisinya penahanan didalam Rutan secara langsung maupun tidak langsung memiliki tekanan tersendiri bagi tahanan yang bersangkutan. Perlakuan-perlakuan ketika mereka memasuki Rutan sudah menunjukkan kondisi dimana mereka akan menjalani sebagian dari hidup mereka di dalam tahanan hingga proses persidangan berakhir yang menentukan status mereka apakah akan dibebaskan atau divonis bersalah dan menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan.
Secara yuridis, Rutan merupakan tempat perawatan dan pelayanan tahanan dan struktur organisasinya lebih tersirat pada pengakuan Presumption of Innocence, sehingga secara sosiologis Rutan merupakan tempat sementara bagi tahanan untuk menunggu kekuatan hukum yang akan tetap sebagai narapidana. (Palopian, 2002 : 46). Sementara itu Suryobroto (2002 : 10) menyebutkan bahwa tahanan yang ditempatkan di Rutan merupakan proses penderitaan permulaan selama belum ada keputusan dari pengadilan pidana, yang memutuskan apakah perampasan kemerdekaan permulaan itu harus diakhiri atau harus dilanjutkan untuk kemudian diputuskan secara definitif apakah yang bersangkutan selanjutnya harus dikenakan perampasan kemerdekaan sebagai sanksi pidana, yang pelaksanaannya dilakukan oleh instansi pelaksana hilang kemerdekaan (instansi pemasyarakatan).
Secara hukum internasional, standar perlakuan tahanan dan narapidana diatur dalam setidaknya dua macam Konvensi. Hak seseorang untuk tidak dikenakan penganiayaan atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi atau hukuman yang merendahkan harkatnya jelas termaktub dalam Pasal 7 Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. Hak ini ditegaskan kembali dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.
Selain itu, Pasal 10 ayat (1) Konvensi Hak Sipil dan Politik secara lebih spesifik lagi menegaskan bahwa "Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati harkat yang melekat pada insan manusia." Khusus bagi pemenuhan hak-hak asasi narapidana, sejak 1955 PBB telah mengeluarkan suatu Peraturan-Peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Tahanan/Narapidana (selanjutnya disebut Standar Minimum Rules). Sekalipun bukan merupakan konvensi, Standar Minimum ini merupakan panduan yang bersifat wajib dalam pembentukan konvensi berkaitan yang dapat mengikat secara hukum. Dalam Standar Minimum itu disebutkan: "Tujuan dan pembenaran suatu hukuman pemenjaraan, atau upaya serupa yang sifatnya merampas kebebasan adalah akhirnya melindungi masyarakat dari kejahatan."
Dengan demikian, ada dua kondisi yang harus dipenuhi agar tujuan-tujuan dalam Standar Minimum dan Konvensi itu tercapai dengan baik. Pertama, pemenuhan hak-hak asasi tahanan/narapidana. Kedua, sistem pengaturan dan pemberdayaan rutan/lembaga pemasyarakatan itu sendiri, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kualitas aparat di lingkungan Rutan/lapas. Kedua kondisi ini dalam prakteknya saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Proposal Penelitian ini selanjutnya akan fokus pada pemenuhan pelayanan hak atas makanan dan pelayanan kesehatan yang layak di rumah tahanan. Hak-hak tersebut merupakan hak dasar tahanan/narapidana sebagai manusia yang tetap harus diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Baik dalam menunggu proses pidana atau menjalankan pidana, tahanan/narapidana hanya mengalami keterbatasan kemerdekaan bergerak, hak-hak dasar yang menyangkut pemenuhan kebutuhan sebagai manusia yang bermartabat tetap harus diselenggarakan oleh pihak rumah tahanan sebagai pihak yang memberikan pelayanan, perawatan dan pembinaan.
B. Identifikasi Masalah
Bertitik tolak dari pemikiran dan pengamatan tersebut , terdapat pokok permasalahan yang akan diidentifikasi, yaitu :
1. Bagaimana pemberian pelayanan hak makanan dan kesehatan terhadap tahanan/narapidana wanita di Rumah Tahanan Negara Klas IIA Pondok Bambu dihubungkan dengan Standar Minimum Rules (SMR) ?
2. Apa saja hambatan atau kendala yang dihadapi dalam pemberian pelayanan hak makanan dan kesehatan terhadap tahanan/narapidana wanita di Rumah Tahanan Negara Klas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur?
C. Tujuan Penelitian
Peneliti mempunyai tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk menemukan pelaksanaan pemberian pelayanan hak atas dan pelayanan kesehatan terhadap tahanan/narapidana wanita di Rumah Tahanan Negara Klas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur dihubungkan dengan Standar Minimum Rules (SMR).
2. Untuk mengidentifikasi hambatan atau kendala dalam pemberian pelayanan hak atas makanan dan kesehatan terhadap tahanan/narapidana wanita di Rumah Tahanan Negara Klas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur dihubungkan dengan Standar Minimum Rules (SMR).
D. Kegunaan Penelitian
Peneliti berharap agar penulisan usulan penelitian ini dapat memberikan keguanaan sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi kalangan akademisi dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang pelayanan hak makanan dan kesehatan terhadap tahanan/narapidana wanita di rumah tahanan negara.
2. Secara praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai pedoman bagi manajamen rumah tahanan negara atau lembaga pemasyarakatan dalam penyelenggaraan makanan dan pelayanan kesehatan bagi tahanan/narapidana, sehingga pelaksanaan baik pengadaan makanan maupun pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan Standar Minimum Rules (SMR), Undang Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan aturan-aturan pelaksanaan lainnya.
E. Kerangka Teori
E.1. Rumah Tahanan Negara (Rutan)
Rumah Tahanan Negara atau Rutan adalah tempat orang-orang yang ditahan secara sah oleh pihak yang berwenang dan tempat terpidana penjara (dengan masa pidana tertentu). Sementara tahanan rutan dan untuk selanjutnya disebut tahanan, adalah tersangka atau terdakwa yang ditempatkan didalam rutan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Terpidana penjara atau kurungan adalah mereka yang telah diputus oleh Hakim dengan pidana penjara atau kurungan dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. (Juklak dan Juknis Rumah Tahanan Negara, 1986 : 13)
Dengan demikian penghuni Rumah Tahanan Negara (Rutan) terdiri dari tahanan (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, dan terpidana penjara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang disebut narapidana. Namun dalam hal ini harus dibedakan antara narapidana yang ditempatkan di Rutan dengan narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana yang ditempatkan di Rutan umumnya adalah narapidana dengan masa pidana pendek (dibawah tiga tahun pidana penjara) dan mereka yang menjalani sisa pidananya serta pidana kurungan, berbeda dengan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dengan masa pidana panjang.
Tugas pokok dan fungsi Rutan adalah bimbingan perawatan tahanan yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam proses tata peradilan pidana terpadu. Kegiatan perawatan tahanan yang secara struktural formal melekat pada bidang tugas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan merupakan bagian integral dari upaya mengedepakan perlindungan hak asasi manusia pada saat berlangsungnya Pra Ajudikasi serta adanya asas pelayanan tahanan di Rumah Tahanan Negara yaitu :
1. Jiwa Pancasila sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Peraturan Pelaksanaannya PP No. 27 Tahun 1983, dalam melindungi harkat dan martabat manusia, khususnya tahanan dalam Rutan;
2. Asas-asas hukum dalam hukum pidana diterapkan terhadap tahanan yaitu antara lain :
- Praduga tak bersalah
- Persamaan di muka Hukum
(Peraturan Pemerintah RI No. 58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan)
Institusi Rumah Tahanan Negara sebagai salah satu tempat penahanan, harus memperhatikan perawatan terhadap tahanan hal ini penting, karena selama berada di dalam Rumah Tahanan Negara sangat berpengaruh bagi perkembangan jiwa dan jasmani tahanan tersebut. Untuk menjalani masa penahanan, para tahanan hendaknya mendapat perlakuan yang selayaknya mereka dapat dalam menjalani masa tahanan, guna menunggu keputusan pengadilan untuk segera kasusnya disidangkan sehingga mendapat kepastian hukum yang tetap. Di dalam Rumah Tahanan Negara perlakuan yang diberikan oleh petugas perawat tahanan harus dapat membuat tahanan merasa aman, terlindungi, serta adanya rasa diperlakukan dengan adil.
Yang dimaksud dengan perawatan tahanan adalah segala kegiatan yang dilaksanakan dari mulai penerimaan sampai dengan tahap pengeluaran. Telah diketahui tugas pelaksanaan perawatan tahanan adalah tugas Rumah Tahanan Negara selaku Unit Pelaksana Teknis di bidang Pemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Perawatan tahanan dilakukan sesuai dengan asas praduga tak bersalah, yang mengandung aspek perlindungan hak asasi seseorang dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum. Oleh karena itu perawatan tahanan di Rutan sebagai suatu kegiatan dalam rangka penahanan tersangka atau terdakwa merupakan salah satu tahap dari penegakan hukum yang berlaku.
E.2. Pelayanan Hak Atas Makanan dan Kesehatan
Sejarah pengakuan hak-hak asasi manusia dan pengaturannya dalam sebuah dokumen yang berlaku secara universal seperti Universal Declaration of Human Rights tidak terlepas dari sejarah umat manusia. Dalam studi Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik dikenal adanya beberapa dokumen yang berhubungan dengan hal tersebut misalnya Magna Charta (1215), Petition of Rights (1628), Bill of Rights (1689) dan sebagainya, sejarah perkembangan pemikiran hak asasi manusia itu antara lain banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran para filsuf seperti Thomas Hobbes, Jhon Locke, Jean Jacques Rousseau, dan lain-lain (Kusnadi dan Ibrahim, 1983).
Berdasarkan hal di atas maka Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui berlakunya suatu pernyataan umum yang mengatur masalah hak-hak asasi manusia. Istilah yang dipergunakan adalah “hak-hak asasi manusia” (human rights) yang dianggap lebih universal daripada istilah right of man. Pernyataan itupun kemudian disebut sebagai Universal Declaration of Human Rights.
Isi dalam Preambul Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dinyatakan bahwa rakyat Perserikatan Bangsa-Bangsa bertekad untuk menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang dari bencana perang, atau dimensi lain yang membahayakan. Tujuannya untuk memperteguh kepercayaan pada hak-hak asasi manusia, dan untuk meningkatkan kemajuan sosial dan memperbaiki tingkat kehidupan dalam alam kebebasan yang lebih luas.
Secara aklamasi, Pasal 1 Piagam PBB mensyaratkan untuk memproklamasikan bahwa salah satu tujuan Perserikatan Bangsa Bangsa adalah untuk mencapai kerjasama internasional dalam menggalakkan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dalam kebebasan-kebebasan mendasar untuk semua, tanpa perbedaan yang idasarkan pada ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.
Salah satu keberhasilan Perserikatan Bangsa Bangsa dibidang hak-hak asasi manusia adalah dicetuskannya pernyataan umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) oleh Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948. Majelis memproklamasikan pernyataan tersebut sebagai “standar umum mengenai keberhasilan untuk semua rakyat dan semua bangsa”. Majelis menyerukan kepada setiap negara anggota dan semua rakyat untuk menggalakkan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang ditentukan didalam pernyataan tersebut.
Pernyataan tersebut terdiri dari 30 Pasal yang pokok-pokok isinya terdapat dalam Pasal 1 dan 2 menegaskan bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana yang ditetapkan oleh pernyataan tanpa membeda-bedakan baik dari segi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik maupun yang lain, asal usul kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran atau kedudukan lain.
Pasal 3 sampai 21 bahwa pernyataan tersebut menetapkan hak-hak sipil dan politik yang menjadi hak semua orang. Hak-hak itu antara lain meliputi :
1. Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi;
2. Bebas dari perbudakan dan pengambaan;
3. Bebas dari penyiksaaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berprikemanusiaan ataupun yang merendahkan derajat kemanusiaan;
4. Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja sebagai pribadi; hak untuk pengampunan hukum yang efektif; bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang sewenang-wenang; hak untuk peradilan yang adil dan didengar pendapat yang dilakukan oleh pengadilan independen dan tidak memihak; hak untuk praduga tidak bersalah sampai terbukti bersalah;
5. Bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap keleluasan pribadi, keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat; bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik; dan hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu;
6. Bebas bergerak; hak untuk memperoleh suaka; hak atas satu kebangsaan;
7. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga; hak untuk mempunyai hak milik;
8. Bebas berpikir, berkesadaran dan beragama; bebas berpikir dan menyatakan pendapat;
9. Hak untuk berhimpun dan berserikat;
10. Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.
Selanjutnya pasal 22 sampai 27 dari pernyataan tersebut menentukan hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang menjadi hak semua orang. Hak-hak ini menyebutkan antara lain :
1. Hak atas jaminan sosial;
2. Hak untuk bekerja; hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama; hak untuk membentuk dan bergabung kedalam serikat buruh;
3. Hak untuk istirahat dan waktu senggang;
4. Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan;
5. Hak atas pendidikan;
6. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.
Pengakuan terhadap hak asasi manusia di Indonesia diimplementasikan dalam Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pengaktualisasian perlindungan hak asasi manusia di dalam masyarakat Indonesia mempunyai ciri dan karakteristik yang khas dalam tatanan berperilaku, menghormati dan menghargai hak asasi manusia agar tercipta suatu kondisi kehidupan yang aman dan stabil di seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomorr 39 tahun 1999 memberikan pengertian HAM sebagai berikut :
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manuia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Negara Indonesia dibentuk dengan tujuan seperti tercantum dalam pembukaan Undang Undang 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdakaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari butir-butir tersebut jelas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan merasa bagian dari seluruh umat manusia. Demikian pula dengan isi batang tubuh UUD 1945 yang umumnya berakitan erat dengan HAM.
Bidang Hukum pada Pasal 27 ayat (1) “Segenap warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini mengandung makna bahwa setiap warganegara mempunyai hak-hak dan kewajiban yang sama, menjunjung hukum pemerintahan. Hal ini karena Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Pengakuan dan perlindungan HAM yang menyangkut persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan;
b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak dan serta tidak dipengaruhi oleh kekuasaan atau kekuatan lain apapun;
c. Jaminan kepastian hukum dalam semua peradilan.
Kepastian hukum artinya penjabaran serta penerapan HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilandasi oleh kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Istilah penegakan hukum dapat diartikan sebagai proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php,). Faktor fasilitas atau sarana pendukung penegakan hukum merupakan faktor penentu efektivitas penegakan hukum selain faktor hukum itu sendiri serta mentalitas dan kepribadian petugas penegak hukum.
Friedmen (1988 : 7) mengemukakan ada 3 (tiga) unsur yang membangun dan sangat berperan di dalam penegakan hukum, yaitu struktur, substansi dan kultur/budaya hukum sebagai berikut :
“Struktur dimaksudkan adalah bagaimana sistem hukum itu ditata sedangkan substansi lebih difokuskan pada apa yang dijalankan oleh sistem hukum itu dan bagaimana sisitem hukum itu menjalankan dan kita nantinya pasti akan sadar terhadap budaya hukum tentang pemikiran dan kekuatan diluar mesin hukum yang membuat sistem hukum itu berhenti dan bergerak”.
Lebih lanjut Friedmen menguraikan bahwa :
“Cara lain menggambarkan tiga unsur kekuatan hukum itu adalah dengan mengibaratkan struktur hukum seperti mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja dan siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana msein itu digunakan”
Salah satu instrumen penegakan hukum adalah adanya peraturan yang bisa menjadi payung hukum bagi semua pihak. Dalam kasus penegakan hukum bagi pelanggar hukum yang telah dijatuhi pidana dan berstatus narapidana adalah Standar Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (SMR) atau peraturan-peraturan standar minimal perlakuan terhadap narapidana. Secara lengkap aturan ini mengakomodir berbagai kepentingan dan hak bagi narapidana selama menjalani pidananya. Berikut beberapa contoh yang diatur didalamnya :
Prinsip Dasar (Arts.6) :
- Non diskriminasi; ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kebangsaan atau asal sosial, harta, kelahiran dan status lain.
- Penhormatan keyakinan agama dan ajaran moral.
Akomodasi (Arts.9-14) :
- Satu sel tidak boileh ditempati dua narapidana dan para narapidana yang satu sel harus disesuaikan dengan kecocokan pertemanan;
- Semua akomodasi yang disediakan harus untuk narapidana, khususnya akomodasi tidur, harus memenuhi persyaratan kesehatan sesuai iklim dan terutama isi kubik udara, ruang lantai minimum, cahaya, panas dan ventilasi;
- Instalasi-instalasi mandi harus sesuai dengan kesehatan.
Kebersihan Pribadi (Arts. 15 dan 16) :
Harus ada peralatan mandi dan toilet yang bersih dan sehat serta disediakan fasilitas untuk pemeliharaan rambut dan jenggot yang layak
Pakaian dan Tempat Tidur (Arts. 17-19)
- Narapidana yang tidak diperkenankan memakai pakaian sendiri harus disediakan pakaian lengkap yang layak. Setiap narapidana yang dipindahkan diluar lembaga harus diperbolehkan memakai pakaiannya sendiri yang tidak menarik perhatian orang;
- Tempat tidur harus terpisah dan selimut terpisah yang ketika diberikan harus dalam keadaan nersih.
Makanan (Arts.20) :
Makanan harus memenuhi gizi yang memdai untuk kesehatan dan air minum harus ada setiap saat
Pelayanan Kesehatan (Arts.22-26) :
- Pada setiap lembaga harus tersedia pelayanan paling sedikit satu orang pejabat kesehatan yang memenuhi syarat dimana harus memiliki pengetahuan psikiatri. Pelayanan medis mencakup pelayanan psikiatri dalam kasus perawatan terhadap kelainan mental;
- Narapidana sakit yang perlu perawatan dokter special harus dipindah ke lembaga khusus atau rumah sakit sipil;
- Layanan kesehatan gigi harus tersedia untuk semua narapidana.
Khusus untuk pelayanan kesehatan bagi narapidana terdapat juga Prinsip-Prinsip Etika Medis yang berkaitan dengan peran petugas kesehatan, terutama para dokter, dalam memberikan perlindungan kepada tahanan dan narapidana terhadap perlakuan atau hukuman lain yang kejam tidak manusiawi dan merendahkan. Prinsip tersebut diterapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 18 Desember 1982 melalui Resolusi 37/194.
Prinsip tersebut terdiri dari enam prinsip yaitu sebagai berikut :
Prinsip 1 :
Petugas kesehatan, terutama dokter, yang bertanggung jawab atas perawatan kesehatan tahanan dan narapidana memiliki tugas untuk melindungi kesehatan jasmani dan rohani mereka dan mengobati penyakit dengan kualitas dan standar yang sama seperti yang diberikan kepada mereka yang tidak dipenjara atau ditahan.
Prinsip 2 :
Petugas kesehatan, terutama para dokter, yang terlibat, baik secara aktif maupun dalam tindakan yang tergolong sebagai keikutsertaan dalam, turut ambil bagian dalam, mendorong atau upaya-upaya melaksanakan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat tergolong melakukan pelanggaran berat etika medis, serta merupakan pelanggaran menurut instrument-instrumen internasional yang berlaku.
Prinsip 3 :
Petugas kesehatan, terutama para dokter, yang terlibat dalam hubungan kerja apapun dengan tahanan atau narapidana dengan tujuan semata-mata bukan untuk mengevaluasi, melindungi atau memperbaiki kesehatan jasmani dan rohani mereka tergolong melakukan pelanggaran etika medis.
Prinsip 4 :
Petugas kesehatan, terutama para dokter, tergolong melakukan pelanggaran estetika medis jika :
a. Menerapkan pengetahuan dan ketrampilan mereka untuk membantu melakukan interogasi terhadap narapidana dan tahanan dengan cara yang mungkin dapat berdampak membahayakan kesehatan jasmani atau rohani atau kondisi tahanan atau narapidana tersebut dan yang tidak sesuai dengan instrument-instrumen internasional yang relevan;
b. Menyatakan, atau turut serta menyatakan tentang, kebugaran tahanan atau narapidana untuk menjalani berbagai bentuk perlakuan atau hukuman yang dapat membahayakan kesehatan jasmani atau rohani mereka dan tidak sesuai dengan instrument internasional yang relevan, atau turut serta, dengan cara apapun, dalam perlakuan atau penghukuman yang menyebabkan penderitaan yang tidak sesuai dengan instrument internasional yang relevan.
Prinsip 5 :
Petugas kesehatan, terutama para dokter, yang turut serta dalam prosedur apapun untuk mengendalikan seorang tahanan atau narapidana melakukan pelanggaran etika medis kecuali jika prosedur semacam itu ditetapkan semata-mata sesuai dengan criteria jasmani dan rohani atau keselamatan tahanan atau narapidana itu sendiri, atau rekan-rekannya sesame tahanan atau narapidana, atau walinya, dan tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan jasmani atau rohaninya.
Prinsip 6 :
Sama sekali tidak ada pembatasan atas dasar apapun pada prinsip-prinsip ini. Termasuk keadaan darurat umum.
F. Metode Penelitian
F.1. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pemenuhan hak makan dan pelayanan kesehatan pada rumah tahanan dianalisis berdasarkan aturan-aturan hukum tertulis yang berlaku utamanya Standar Minimum Rules (SMR) sebagai acuan dalam penelitian ini, serta dikaitkan dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, serta peraturan lainnya.
F.2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis, dengan melakukan analisis terhadap fenomena yang berkenaan dengan obyek penelitian yaitu pemberian pelayanan hak atas makanan dan pelayanan kesehatan narapidana di Rumah Tahanan Negara.
F.3. Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian dalam penelitian diawali dengan pengumpulan data primer berupa literatur-literatur terkait penelitian yaitu pemenuhan hak atas fasilitas makanan dan kesehatan terhadap tahana/ narapidana wanita. Tahapan berikutnya adalah membuat agenda penelitian lapangan berupa :
a. Menetapkan lokasi penelitian yaitu Rumah Tahanan Negara Klas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur;
b. Menetapkan jenis data yang diperlukan, yaitu pendapat orang, kejadian/peristiwa dan dokumen;
c. Menetapkan jadual wawancara kepada pihak-pihak terkait di lokasi penelitian;
d. Pelaporan dan bimbingan hasil penelitian.
F.4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah Rumah Tahanan Negara Klas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur. Adapun alasan peneliti memilih lokus penelitian ini didasarkan bahwa Rumah Tahanan Negara Klas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur adalah satu-satunya rutan bagi tahanan/narapidana wanita yang ada di DKI Jakarta, memiliki sarana prasarana pelayanan, perawatan dan pmbinaan yang lengkap. Dengan data tersebut maka diasumsikan bahwa pengadaan bahan makanan dan pelayanan kesehatan bagi tahanan/narapidana wanita di rutan ini layak untuk dijadikan penelitian ilmiah.
F.5. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan adalah menggunakan metode analisis yuridis kualitatif yaitu dengan menggunakan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah hukum yang berlaku yang diuraikan secara sistematis dan metodelogis, tidak menggunakan rumus atau angka-angka.
G. Sistematika Penelitian
Dalam penelitian penelitian ini akan dibagi dalam enam bab, tujuan dan maksud dari sistematika penelitian adalah untuk mempermudah memberikan gambaran secara garis besar dari bab- perbab, dengan penjelasan sebagai berikut :
BAB I | : | PENDAHULUAN Pada bab ini diuraikan tentang Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian |
BAB II | : | LANDASAN TEORI Bab ini berisikan teori-teori yang digunakan dalam penulisan yang menjadi dasar dan cara pandang dalam penganalisaan hasil penelitian |
BAB III | : | GAMBARAN UMUM Pada bab ini berisi tentang, pengertian umum situasi Rutan Klas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur, sejarah, kapasitas hunian, denah lokasi, struktur organisasi, jumlah petugas, dan keadaan penghuni. |
BAB IV | : | TEMUAN HASIL PENELITIAN Pada bab ini berisi tentang temuan-temuan penelitian di lapangan yaitu tentang pemberian pelayanan hak atas makanan dan pelayanan kesehatan bagi tahanan/narapidana wanita. |
BAB V | : | ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini dibahas tentang hasil penelitian yang telah dilaksanakan dan dianalisis sesuai dengan landasan teori yang digunakan . |
BAB VI | : | PENUTUP Pada bab ini diuraikan tentang kesimpulan dan saran |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar