Analisis Kriminolog Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi ini patut dibaca, dihayati dan direnungkan. Dan sekali lagi ini masalah kita bersama.
TEMPO.CO , Jakarta: Masalah yang terungkap jika terjadi kerusuhan di lembaga pemasyarakatan adalah soal kapasitas dan jumlah penjaga. Padahal menurut kriminolog Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi, penjara tak sekadar bangunan fisik pengukung narapidana.
"Ada budaya dan kehidupan sosial yang seolah tertutupi dengan masalah fisik bangunan," ujar dia ketika dihubungi pada Kamis 23 Februari 2012.
Masalah kelebihan kapasitas dan jumlah sipir yang tak imbang adalah masalah klasik penjara. "Tak hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh dunia," ujar Josias. Tapi persoalan itu memang mayoritas terjadi di penjara-penjara negara dunia ketiga.
Penjara, ujar dia, ada kultur yang hidup seperti halnya masyarakat di luar penjara. Narapidana juga memiliki kebutuhan yang sama dengan manusia bebas lainnya, seperti hiburan dan makanan yang layak. Sementara negara tidak bisa menyediakan fasilitas itu karena keterbatasan dana.
"Maka biasanya timbul kerja sama yang sulit dipahami umum," ujar Josias. Semisal kerja sama antarnapi dan petugas demi mendapat lauk yang lebih enak atau selinting rokok. Petugas terkadang perlu kompromi untuk mengabulkan keinginan para narapidana itu. Tujuannya untuk mengurangi tingkat kekacauan akibat prasarana yang belum memadai.
Situasi ini, Josias mengatakan, tidak dipahami para pejabat di tingkat atas. "Bagi mereka, penjara itu harus ketat dan tegas," katanya. Sementara fasilitas belum cukup dan memadai. Potensi untuk rusuh pun menjadi besar. "Maka petugas di lapangan biasanya melakukan penyesuaian atau adaptasi," katanya.
Sesuai dengan judulnya, "lembaga pemasyarakatan", menurut Josias, harusnya fokus pemerintah adalah pengembangan sosial agar tahanan bisa kembali ke masyarakat lagi. "Tapi ukuran seberapa sosial dan seberapa layaknya program pembinaan ini juga masih diperdebatkan," kata dia.
Yang perlu diingat pemerintah adalah di dalam penjara ada budaya yang sudah langgeng dan diwariskan karena menghadapi keterbatasan yang ada. Kalau sekadar mengubah struktur lapas atau aturan yang berlaku, tanpa menyentuh kehidupan sosial, kata Josias: "Akan sia-sia."
Kerusuhan pecah di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Bali, Rabu, 22 Februari 2012, sekitar pukul 22.30 waktu setempat. Ini kelanjutan dari kerusuhan pada Ahad, 19 Februari 2012 dan Selasa, 21 Februari 2012. Narapidana melemparkan batu dan bom molotov ke petugas, sehingga petugas meninggalkan lembaga pemasyarakatan.
"Ada budaya dan kehidupan sosial yang seolah tertutupi dengan masalah fisik bangunan," ujar dia ketika dihubungi pada Kamis 23 Februari 2012.
Masalah kelebihan kapasitas dan jumlah sipir yang tak imbang adalah masalah klasik penjara. "Tak hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh dunia," ujar Josias. Tapi persoalan itu memang mayoritas terjadi di penjara-penjara negara dunia ketiga.
Penjara, ujar dia, ada kultur yang hidup seperti halnya masyarakat di luar penjara. Narapidana juga memiliki kebutuhan yang sama dengan manusia bebas lainnya, seperti hiburan dan makanan yang layak. Sementara negara tidak bisa menyediakan fasilitas itu karena keterbatasan dana.
"Maka biasanya timbul kerja sama yang sulit dipahami umum," ujar Josias. Semisal kerja sama antarnapi dan petugas demi mendapat lauk yang lebih enak atau selinting rokok. Petugas terkadang perlu kompromi untuk mengabulkan keinginan para narapidana itu. Tujuannya untuk mengurangi tingkat kekacauan akibat prasarana yang belum memadai.
Situasi ini, Josias mengatakan, tidak dipahami para pejabat di tingkat atas. "Bagi mereka, penjara itu harus ketat dan tegas," katanya. Sementara fasilitas belum cukup dan memadai. Potensi untuk rusuh pun menjadi besar. "Maka petugas di lapangan biasanya melakukan penyesuaian atau adaptasi," katanya.
Sesuai dengan judulnya, "lembaga pemasyarakatan", menurut Josias, harusnya fokus pemerintah adalah pengembangan sosial agar tahanan bisa kembali ke masyarakat lagi. "Tapi ukuran seberapa sosial dan seberapa layaknya program pembinaan ini juga masih diperdebatkan," kata dia.
Yang perlu diingat pemerintah adalah di dalam penjara ada budaya yang sudah langgeng dan diwariskan karena menghadapi keterbatasan yang ada. Kalau sekadar mengubah struktur lapas atau aturan yang berlaku, tanpa menyentuh kehidupan sosial, kata Josias: "Akan sia-sia."
Kerusuhan pecah di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Bali, Rabu, 22 Februari 2012, sekitar pukul 22.30 waktu setempat. Ini kelanjutan dari kerusuhan pada Ahad, 19 Februari 2012 dan Selasa, 21 Februari 2012. Narapidana melemparkan batu dan bom molotov ke petugas, sehingga petugas meninggalkan lembaga pemasyarakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar