BERJUANG TANPA LELAH---CIPTAKAN RUANG PASAR TANPA PESAING DAN BIARKAN KOMPETISI TAK LAGI RELEVAN (KIM & MAUBORGNE)"

Sabtu, 08 Mei 2010

Pekerjaan Narapidana

Dalam Buku berjudul A Human Rights Approach to Prison Management terbitan International Center for Prison Studies disebutkan bahwa “Narapidana juga manusia," Mereka juga memiliki hak asasi manusia, seberat apa pun kejahatan yang telah mereka perbuat. Hak asasi narapidana yang dapat dirampas hanyalah kebebasan fisik serta pembatasan hak berkumpul dengan keluarga dan hak berpartisipasi dalam pemerintahan. Hal ini mengandung makna bahwa setiap program kegiatan bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan haruslah mencerminkan kehidupan diluar lapas, salah satunya adalah dengan pembinaan kemandirian berupa adanya pekerjaan bagi narapidana.

Hal ini berarti bahwa pembinaan terhadap narapidana harus bermanfaat baik selama yang bersangkutan menjalani pidana maupun setelah selesai menjalani pidana, sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama dengan anggota masyarakat pada umumnya untuk dapat memberikan kontribusinya sebagai anggota masyarakat yang aktif dan produktif dalam pembangunan bangsa.

Pemikiran tentang fungsi Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga produktif secara implisit juga dimuat dalam The Standar Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, antara lain disebutkan bahwa suatu perusahaan lembaga yang vital akan dapat dipertahankan hanya apabila ada pasaran bagi hasilnya. Pembatasan-pembatasan yang dikenakan pada penjualan hasil-hasil di pasaran bebas dapat menghalang-halangi penggunaan mesin-mesin baru dan cara-cara berproduksi modern, yang dilanjutkan dapat menghambat penyesuaian narapidana pada pekerjaan-pekerjaan diluar. Sebaliknya produksi di dalam lembaga harus dihubungkan dengan rencana latihan ketrampilan dan nilai-nilai latihan kerja di lembaga-lembaga harus diambil sebagai dasar-dasar pertimbangan bagi lebih berhasilnya produksi itu.

Pekerjaan narapidana merupakan masalah yang penting dalam pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan, baik dipandang dari segi keamanan, kesehatan, pendidikan maupun fungsi sosial dari pekerjaan itu sendiri. Namun demikian tujuan, fungsi maupun sifat pekerjaan itu sendiri dalam sejarahnya tidak sama mengingat bahwa tujuan dan fungsi pidana hilang kemerdekaan itu sendiri mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan zaman.

Dengan dikembangkannya fungsi pemasyarakatan dari lembaga konsumtif menjadi lembaga produktif, maka kegiatan yang dilakukan harus dapat menciptakan iklim yang kondusif, yang memberikan peluang kepada narapidana untuk mengembangkan potensi diri dan melakukan kegiatan kerja produktif sesuai dengan bakat, latar belakang pendidikan, keterampilan atau keahlian yang dimiliki. Kegiatan kerja melalui pembinaan kemandirian di Lembaga Pemasyarakatan harus merupakan suatu kegiatan yang simultan dan berkesinambungan, sehingga disamping bersifat treatment oriented maka kegiatan kerja tersebut juga harus bersifat profit oriented sebagai konsekuensi dari suatu kegiatan produktif.

Pekerjaan narapidana merupakan masalah yang penting dalam pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan, baik dipandang dari segi keamanan, kesehatan, pendidikan maupun fungsi sosial dari pekerjaan itu sendiri. Namun demikian tujuan, fungsi maupun sifat pekerjaan itu sendiri dalam sejarahnya tidak sama mengingat bahwa tujuan dan fungsi pidana hilang kemerdekaan itu sendiri mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan jaman. Dalam sistem pemasyarakatan pekerjaan narapidana bukan semata-mata dimaksudkan untuk tujuan-tujuan komersial yang bersifat profit oriented, namun lebih dimaksudkan sebagai media bagi narapidana untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat melalui kegiatan-kegiatan kerja yang bermanfaat sehingga baik selama maupun setelah menjalani pidana mereka dapat berperan utuh sebagai mana layaknya anggota masyarakat.

Pemikiran-pemikiran dasar yang melandasi perlunya program pembinaan dalam upaya peningkatan kualitas profesionalitas/ketrampilan kerja narapidana pada dasarnya pada satu sisi dimaksudkan untuk menekan atau mengeliminir segi-segi negatif dari pidana perampasan kemerdekaan, sedangkan disisi lain juga dimaksudkan untuk mengembangkan konsepsi pertanggungjawaban pribadi dalam pemidanaan untuk membangkitkan kesadaran narapidana akan nilai-nilai kemanusiaan, moralitas sosial dan tanggung jawab sosial dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

Pemberian pekerjaan melalui pembinaan kemandirian sesuai dengan yang diamanatkan oleh KUHP pada Bab II pasal 24 bahwa orang yang dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan boleh diwajibkan bekerja didalam atau diluar tembok tempat orang- orang terpidana27. Pemberian pekerjaan bagi Narapidana selain bagian dari pembinaan juga merupakan bagian dari pengamanan di dalam Lapas. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Adi Sujatno bahwa :

fungsi dari pekerjaan yang diberikan kepada narapidana, antara lain : Bagian dari pemidanaan, Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Untuk kepentingan pembangunan bangsa, Untuk memperbaiki mental, tabiat, dan perilaku, Untuk memberikan keterampilan dan keahlian, Memproduksi barang dan jasa yang bermanfaat bagi narapidana, keluarga, masyarakat dan negara, Media akselerator bagi tercapainya reintegrasi sosial narapidana.28

Mengenai tujuan pemberian pekerjaan Richard Snarr dalam bukunya menulis :

Work programs known as prison industry have a different purpose, which is to produce goods for the marketplace. Through the years, prison industry has been utilized to meet a varienty of goals, including

1. To make aprofit for the prison

2. To reduce idle time

3. To enforce prison discipline

4. To punish

5. To rehabilitate.29

Dari penjelasan diatas menurut Richard Snaar bahwa tujuan dari industri di penjara atau pemberian pekerjaan pada narapidana bertujuan untuk membuat keuntungan bagi penjara, untuk mengurangi waktu siaga dalam hal ini gangguan keamanan dapat dikurangi, untuk memaksa kedisiplinan dalam penjara, untuk menghukum, serta sebagai rehabilitasi narapidana.



27 KUHP dan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 14

28 Adi Sujatno, Negara Tanpa Penjara (Sebuah Renungan), Montas Ad, Jakarta, 2002, hlm 32.

29 Richard W. Snarr, Introduction To corrections. Debuque : Brown & Benchmark Publisher, 1996, hlm 164

Sejarah Pemasyarakatan

Perkembangan Pembinaan Dalam Pemasyarakatan


Upaya perbaikan terhadap pelanggar hukum baik yang berada dalam penahanan sementara maupun yang sedang menjalani pidana terus diadakan dan ditingkatkan sejak bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Upaya untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan dibidang tata perlakuan terhadap pelanggar hukum diawali oleh pemikiran DR.Saharjo S.H yang menjabat sebagai menteri Kehakiman pada saat itu. Pada tanggal 5 Juli 1963 di Istana negara RI dalam penganugrahan gelar Doktor Honoris Causa bidang hukum dengan pidatonya Pohon Beringin Pengayoman yang antara lain dinyatakan bahwa tujuan dari penjara adalah Pemasyarakatan, dan juga mengemukakan tentang konsepsi tentang hukum nasional yang ia gambarkan sebagai sebuah pohon beringin untuk melambangkan tugas hukum ialah memberi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara.

Gagasan tentang Pemasyarakatan tersebut mencapai puncaknya pada tanggal 27 April 1964 pada konferensi nasional kepenjaraan di Grand Hotel Lembang Bandung. Konferensi yang dihadiri oleh para direktur penjara seluruh Indonesia ini berhasil merumuskan prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan terhadap para narapidana. Pokok-pokok pikiran Sahardjo dijadikan sebagai sandaran dalam penyusunan prinsip-prinsip pokok pemasyarakatan, dan berkembang bukan hanya sekedar menjadi tujuan dari pidana penjara, tetapi juga merupakan sistem pembinaan bagi narapidana, yang sekaligus menjadi suatu metodologi di bidang pembinaan narapidana atau treatment of offenders. Prinsip-prinsip tersebut dinamakan dengan Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan, sebagai berikut:

1. orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat

yakni masyarakat Indonesia yang menuju ke tata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Bekal hidup tidak hanya berupa finansial dan material, tetapi yang lebih penting adalah metal, fisik, keahlian, keterampilan, hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum lagi, dan berguna dalam pembangunan negara.

2. menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara

yakni terhadap narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara perawatan maupun penempatan. Satu-satunya derita hanya dihilangkan kemerdekaan.

3. tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melaikan dengan bimbingan

kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.

4. negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/jahat daripada sebelum ia masuk lembaga

karena itu harus diadakan pemisahan antara :

- residivist dan yang bukan

- yang telah melakukan tindak pidana berat dan yang ringan

- macam tindak pidana yang diperbuat

- dewasa, dewasa muda, dan anak-anak

- orang terpidana, dan tahanan

5. selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya.

Menurut paham lama, pada waktu mereka menjalani pidana hilang kemerdeakan adalah identik dengan pengasingan dari masyarakat. Dalam sistem pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam arti secara “cultural”. Secara bertahap mereka dibimbing ditengah-tengah masyarakat yang merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan didasarkan kepada pembinaan yang “community centered” dan berdasarkan interaktivitas dan interdisipliner approach antara unsur-unsur pegawai, masyarakat, dan narapidana

6. pekerjaan yang diberikan kepada narpidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan negara sewaktu saja

pekerjaan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat ditujukan kepada pembangunan nasional, karena harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangunan nasional.

7. bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila

pendidikan dan bimbingan harus berisikan azas-azas yang tercantum dalam Pancasila, kepa narapidana harus diberi pendidikan agama, serta diberi kesempatan dan bimbingan untuk melaksaakan ibadahnya, ditanmakan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, rasa persatuan, rasa kebangsaan Indonesia, jiwa bermusyawarah untuk mufakat. Narapidana harus diikutsertakan dalam kegiatan demi kepentingan bersama dan umum.

8. tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun telah tersesat

tidak boleh selalu ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu adalah penjahat. Ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diberlakukan sebagai manusia. Sehubungan dengan itu petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memakai kata-kata yang dapat menyinggung perasaannya

9. narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdeakaan

perlu diusahakan agar narapidana mendapat mata pencaharian untuk keluarganya dengan jalan menyediakan/memberikan pekerjaan dengan upah. Bagi pemuda dan anak-anak disediakan lembaga pendidikan diluar lembaga.

10. perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan. sebaiknya ada bangunan-bangunan khusus sehingga dapat diadakan pemisahan antara narapidana :

- dewasa, dewasa muda, dan anak-anak

- laki-laki dan wanita

- residivist dan bukan residivist

- yang melakukan tindak pidana berat dan yang ringan

- narapidana dan tahanan.18

Hasil konferensi tersebut kemudian berhasil menghilangkan dualisme, dimana pemasyarakatan tidak sama dengan resosialisasi, yang berarti bahwa fokus pemasyarakatan yang dianut di Indonesia mempunyai aliran “reintegrasi” yakni dalam ilmu (correctional science) berbeda dengan aliran yang menganut “rehabilitasi“ (termasuk resosialisasi) sebagai tujuan pidana. Maka dari pertemuan tersebut tercetuslah prinsip pemasyarakatan, yaitu sebagai berikut :

1. pemasyarakatan tidak hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan pula suatu cara (atau sistem) perlakukan terpidana.

2. pemasyarakatan adalah suatu proses perlakukan yang menganut prinsip gotong royong, yakni antara petugas-terpidana-masyarakat

3. tujuan pemasyarakatan adalah untuk mencapai kesatuan hubungan hidup-kehidupan-penghidupan yang terjalin antara terpidana dan masyarakat (dalam konfrensi Lembang disebut sebagai “ integritas “ hidup-kehidupan-penghidupan )

4. fokus dari pemasyarakatan bukan individu terpidana secara ekslusif, melainkan kesatuan hubungan natara terpidana dan masyarakat

5. terpidana harus dipandang sebagai orang yang melakukan pelanggaran hukum, tidak karena ia ingin melanggar hukum, melainkan karena ditinggalkan dan tertinggal dalam mengikuti derap kehidupan masyarakat yang makin lama makin kompleks.

6. terpidana harus dipandang sebagai manusia mahluk Tuhan yang seperti manusia-manusia lainnya mempunyai potensi dan itikad untuk menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat.

7. semua unsur yang terlibat dalam proses peradilan pidana pada hakekatnya menyukai perdamaian dan pada waktunya tidak segan-segan untuk memberi maaf

8. petugas pemasyarakatan harus menghayati prinsip-prinsip kegotongroyongan dan harus menempatkan dirinya sebagai salah satu unsur dalam kegotongroyongan

9. tidak boleh ada paksaan dalam kegotongroyongan, tujuan harus dicapai melalui self propelling adjusment dan readjusment, pendekatan yang harus dipakai ialah pendekatan antar sesama manusia

10. lembaga pemasyarakatan, adalah unit operasional untuk mencapai tujuan pemasyarakatan dan bukan bangunan, bangunan hanya sebagai sarana saja.

11. tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila19.

Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan sistem pemasyarakatan didukung oleh adanya Undang-undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-undang pemasyarakatan menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman,persamaan perlakuan dan pelayanan pendidikan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya derita serta terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Lebih lanjut didalam Undang-undang Pemasyarakatan pasal 3 (tiga) disebutkan fungsi sistem pemasyarakatan yaitu menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat,sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.20

Sistem Pemasyarakatan berasumsi bahwa warga binaan bukan saja objek melainkan subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan dan kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus dibetantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan warga binaan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Oleh karena itu eksistensi pemidanaan diartikan sebagai upaya untuk menyadarkan warga binaan agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai.

Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem pemasyarakatan mengenal adanya dua macam program pembinaan dan pembimbingan, yaitu pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Dimana pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar warga binaan menjadi manusia seutuhnya, bertagwa dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan kepada pembinaan bakat dan ketrampilan agar warga binaan dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.



18 Widiada Gunakaya, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Armico, Bandung, 1988, hlm 77-81.

19 Thomas Sunaryo, Sistem Pemasyarakatan Indonesia, Universitas Indonesia, Depok 2001, hlm 46.

20 Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 butir 2.

Kamis, 06 Mei 2010

Penerimaan Tahanan di Rutan

A. Dasar Hukum Penerimaan Tahanan di Rutan

Untuk menerima seorang tahanan di Rutan ( Lapas ) secara sah maka pada saat seorang tahanan dibawa ke Rutan harus dilengkapi dengan surat-surat yang sah dari pihak yang menahan lengkap dengan surat pengantarnya. Adapun dasar hukum penerimaan dari seorang tahanan di Rutan adalah :
  1. Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang KUHP
  2. Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP
  3. Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
  4. Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
  5. Permen No. 27 tahun 1993 tentang Pelaksanaan KUHAP
  6. Permen No. 58 tahun 1999 tentang syarat-syarat dan Tata cara Pelaksanaan Wewenang, tugas dan Tangung Jawab Perawatan Tahanan
  7. Permenkeh RI No. M.04-UM.01.06 tahun 1983 tanggal 29-121983 tentang tata cara penempatan perawatan tahanan dan tata tertib Rutan
  8. KepmenKeh RI No. M.04-PK.01.03 tahun 1985 tanggal 20-091985 tentang organisasi dan tata cara kerja Rutan
  9. KepmenKeh RI No. M.02.PK.04.10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990 Tentang pola pembinaan narapidana dan tahanan

B. Register Daftar-daftar / Formulir Penerimaan Tahanan di Rutan

1. Register A ; Untuk mencatat tahanan dengan penggolongannya, yang terdiri atas :
  • a) Register A 1 untuk tahanan penyidik (Polri)
  • b) Register A 2 untuk tahanan penuntut umum (Jaksa)
  • c) Register A 3 untuk tahanan Hakim Pengadilan Negeri
  • d) Register A 4 untuk tahanan Hakim Pengadilan Tinggi
  • e) Register A 5 untuk tahanan Hakim Mahkamah Agung
2. Register D ; Untuk mencatat barang-barang atau uang yang dibawa tahanan dan dititipkan pada Rutan. Barang-barang yang amat berharga disimpan sebagai barang presiosa dalam tempat yang aman ( misalnya cincin kawin,permata,uang ).

3. Register E ; untuk mencatat tanggal dan hari seorang tahanan dikunjungi/dibesuk, siapa-siapa yang dibesuk, jam berapa dibesuk.

4. Register F ; untuk mencatat kalau ada pelnggaran tata tertib dari seorang tahanan

5. Register G ; untuk mencatat keadaan kesehatan seorang tahanan,jenis penyakit dan disimpan di rumah sakit Rutan.

6. Register H ; untuk mencatat seorang tahanan yang penempatannya diasingkan dari tahanan lain baik untuk kepentingan keamanan,mengidap penyakit menular atau atas permintaan tahanan sendiri.

Disamping register-register tersebut tahanan juga dicatat pada klapper yakni buku yang mencatat semua penghuni Rutan sesuai huruf abjad awal namanya, disamping itu juga ada buku expirasi penahanan mencatat tanggal terakhir penahanan dan kapan diperpanjang atau dibebaskan demi hukum disamping itu juga diadakan daftar sidik jari penahanan yakni sdik jari tengah tangan kiri maupun sepuluh jari yang disebut kartu daktiloskopi.