BERJUANG TANPA LELAH---CIPTAKAN RUANG PASAR TANPA PESAING DAN BIARKAN KOMPETISI TAK LAGI RELEVAN (KIM & MAUBORGNE)"

Selasa, 06 September 2011


RANTAI REMISI KORUPTOR… Perbincangan Tahunan yg diagendakan ???

OPINI | 07 September 2011 | 11:20http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon01.jpg7 http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon02.jpg0 http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon03.jpg Nihil


Rantai Remisi Koruptor

20:52 NAPI-NARAPIDANA INDONESIA

Di sela-sela perayaan HUT RI di KPK, Rabu (17/8), Ketua KPK Busyro Muqoddas,
mengkritik kebijakan Kementerian Hukum dan HAM yang memberi remisi bagi
terpidana pelaku korupsi pada hari kemerdekaan RI. Menurut Busyro, penghapusan
remisi terhadap napi koruptor dapat menekan potensi tindak pidana korupsi.
“Sejak dahulu, saya berpendapat remisi terhadap koruptor ditinjau
kembali. Ini perlu dilakukan segera, mudah-mudahan ini bias cepat
ditindaklanjuti dengan revisi undangundang terkait,” tutur Busyro.
Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang.


Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan
hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU
12/1995 tentang Pemasyarakatan. Topik usang, namun menjadi
mencengangkan, karena diucapkan oleh seorang BusyroMuqoddas yang kita anggap
mengerti hukum. Dasar utama pemberian remisi sekarang ini adalah Pasal 14 Ayat
(1) Butir i, yang berbunyi, “Narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa
pidana (remisi).” Selanjutnya, Pasal 14 Ayat (2) berbunyi, “Ketentuan mengenai
syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan remisi diatur dengan peraturan
pemerintah.” Remisi kemudian diatur dengan PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Dengan dasar hukum tersebut,
persoalannya bukan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM, tetapi remisi
semata-mata melaksanakan amanat UU. Ini yang pertama. Kedua, Ketua KPK tidak
membedakan rantai proses pidana. Dia seakan-akan lupa, proses pengadilan
(dakwaan, pembuktian, penuntutan, putusan hukuman), sungguh suatu rantai yang
berbeda dengan pelaksanaan hukuman. Sudah barang tentu kita mendukung
jika hukuman koruptor diperberat, dan upaya pengembalian kerugian negara
benar-benar dioptimalkan. Tetapi, hendaknya hal itu dilakukan pada mata rantai
proses pidana, bukan di rantai pelaksanaan pidana. Mencampuradukkan
keduanya (antara proses pidana dan pelaksanaan hukuman), sama dengan
menginjak-injak konstitusi. Sebetulnya, hal mendesak memberantas korupsi adalah
penerapan asas pembuktian terbalik.

Ditolak MK


Masalah pemberian remisi (UU 12/1995) sudah pernah diuji materi ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui putusan No 022/PUU-III/2005 (tertanggal 1
Maret 2006), MK menolak gugatan. Keberatan diajukan oleh Bahrul Ilmi Yakup SH
dan Dhabi K Gumayra SH, keduanya berdomisili di Palembang. Menteri Hukum
dan HAM pada masa itu, secara lisan dan tertulis memberi kesaksian kepada MK.
Menurut Menteri, pemberian remisi adalah sesuai dengan UUD 1945, juga Pasal 14
dan 15 KUH Pidana. Pada masa Hindia Belanda, dasar hukum pertama pemberian
remisi adalah Gouvernementsbesluit, tanggal 10 Agustus 1935 tentang
Remissieregeling.

Menteri Hukum membuat perbandingan remisi di Indonesia
dengan sejumlah negara. Kanada, misalnya, berdasarkan Queen’s Printer 1988 dan
Prisons and Reformatories Act 1988, memberikan secara otomatis pengurangan masa
pidana sebanyak satu pertiga dari masa pidana. Di Indonesia, total remisi tak
lebih 20 persen. Di Amerika Serikat, pengurangan otomatis setengah hukuman.
Afrika Selatan, malah mempertimbangkan aspek overcrowding (kelebihan muat) dan
kurangnya anggaran Lembaga Pemasyarakatan (LP). Departemen Pelayanan
Pemasyarakatan di sana, telah beberapa kali memberikan remisi khusus (special
remission) dalam kurun waktu 30 Maret 1990 dan 30 Juni 1994, kepada 94.128
narapidana. Padahal, Afrika Selatan, juga seperti Kanada, menganut pengurangan
hukuman sepertiga hukuman secara otomatis. Singapura, sama dengan
Kanada, pengurangan sepertiga hukuman (secara otomatis). Thailand, remisi
diberikan kepada narapidana dengan klasifikasi berkelakuan baik, sangat baik dan
terbaik (good, very good and excellent class). Pada klasifikasi baik, narapidana
akan mendapatkan pengurangan pidana tiga hari untuk setiap bulan. Klasifikasi
sangat baik akan mendapatkan empat hari tiap bulan, dan pada klasifikasi terbaik
narapidana akan mendapatkan lima hari tiap bulan. Apabila seorang narapidana di
Thailand ditugaskan untuk bekerja di luar selama satu hari, masa pidana mereka
juga akan dikurangi sebesar satu hari, ditambahkan dengan remisi bulanannya.


Saksi ahli yang dihadirkan di MK, Prof Dr Andi Hamzah SH, memberi
pencerahan atas masalah ini. Andi Hamzah, memberi batas yang jelas antara “batas
wewenang peradilan pidana” dan “pelaksanaan hukuman”. Hamzah mengutip pakar
hukum pidana, JM Van Bemmelen yang mengemukakan, acara pidana terdiri atas tujuh
tahap: (1) Mencari kebenaran; (2) Mencari pelaku tindak pidana; (3) Menangkap
pelaku dan kalau perlu menahannya; (4) Mengumpulkan bukti untuk diajukan ke
pengadilan; (5) Pengambilan putusan oleh hakim; (6) Upaya hokum melawan putusan
hakim (bandingkasasi); dan (7) Pelaksanaan putusan hakim (eksekusi).
Begitu jaksa mengeksekusi putusan hakim, berakhirlah proses acara
pidana. Selanjutnya, pembinaan narapidana berada di dalam wilayah pemerintah
(eksekutif), yang dilaksanakan oleh LP, di bawah naungan Kementerian Hukum dan
HAM. Dengan pernyataan Ketua KPK Busyro Muqoddas, agar remisi
dihilangkan, penulis menjadi tidak mengerti, dalam konteks mana dia bicara? Soal
berat hukuman, adalah wewenang pengadilan (jaksa dan hakim). Khusus di KPK,
malah mulai dari penyidik. Jaksa dan hakim adalah satu “tim terpadu” yang tak
mungkin gagal. Jika narapidana “alumnus” KPK cepat bebas, tentu bukan karena
memperoleh remisi, tetapi karena hukuman di Pengadilan Tipikor yang mungkin tak
sesuai harapan rakyat.

Lama Pidana

Kemudian soal lama pidana. Ada asumsi sebagian orang, semakin lama hukuman suatu tindak
pidana, akan semakin menimbulkan efek jera. Dalam kesaksian di MK, Andi Hamzah
juga mengatakan, sesudah Perang Dunia II, para pakar hukum pidana dan hukum
acara pidana di Eropa berpendapat, pidana penjara tidak mencapai maksudnya,
yaitu untuk mengurangi kejahatan di masyarakat. Hukuman ringan (enam
bulan ke bawah), lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya (too short for
rehabilitation and too long for corruption). Maka perlu dicari alternative lain,
seperti pidana kerja sosial (community service order), denda harian (day
fine), yaitu denda yang dibayar terpidana sebagai pengganti pidana penjara enam
bulan ke bawah. Masa pidana yang lama, ternyata tak juga membuat efek
jera. Hukuman untuk pengedar narkoba di Indonesia sekarang ini sudah demikian
berat, banyak yang sampai hukuman mati. Namun kenyataannya, peredaran narkoba
bukannya berkurang, malah bertambah. Para pakar pun sudah sepakat, hukuman
dengan jangka waktu yang lama, tak memberi efek jera.

“Kesadaran Palsu”

Kini publik seakan-akan dihinggapi “kesadaran palsu,” seakan-akan mengoptimalkan pemberantasan korupsi hanya dengan menghilangkan
remisi koruptor. Padahal, remisi hanya sebagian kecil dari rantai proses
memasukkan koruptor ke penjara. Publik seakan- akan lupa, hal utama memberantas
korupsi adalah pemerintahan yang bersih, transparansi, dan penerapan asas
pembuktian terbalik. Jika remisi bagi para koruptor dihilangkan, namun
kualitas birokrasi kita tak juga berubah, apakah praktik korupsi akan berkurang?
Tentu tidak. Lalu, publik sepertinya tak juga menyadari, sekarang ini
pemberian remisi pelaku tindak pidana korupsi sebetulnya sudah sangat ketat.
Hanya boleh mendapat remisi apabila sudah menjalani sepertiga hukuman. Ini
diatur dalam PP 28/2006 (yang merupakan perubahan atas PP 32/1999, khususnya
Pasal 34). Meski PP ini sudah berusia lima tahun, kenyataannya tidak
memperbaiki peringkat Indonesia sebagai negara terkorup. Indonesia tetap
bertengger di kelompok terbawah. Apanya yang salah? Barangkali, pokok masalah
adalah keseriusan para penegak hukum, jangan tebang pilih, jangan hanya mencari
nama, jangan hanya membentuk citra, dan satu lagi, penerapan asas pembuktian
terbalik!

SIHOL MANULANG PENULIS ADALAH WARTAWAN

http://www.suarapembaruan.com/pages/e-paper/2011/08/24/index.html

Tidak ada komentar: