BERJUANG TANPA LELAH---CIPTAKAN RUANG PASAR TANPA PESAING DAN BIARKAN KOMPETISI TAK LAGI RELEVAN (KIM & MAUBORGNE)"

Senin, 12 Maret 2012

Kumpulan Ulasan Yusril Ihza Mahendra tentang Moratorium REMISI


Kumpulan ataupun rangkuman penjelasan Yusril Ihza Mahendra ini penulis rangkum dari facebookpage beliau dengan tujuan selain untuk dokumen pribadi karena berkenaan langsung dengan bidang pekerjaan, juga diharapkan menjadi bahan kajian pembaca sekalian. Terima Kasih.



Moratorium dan Asas yang Dilanggar

Banyak kalangan, Wartawan, Akademisi bahkan masyarakat awam yang bertanya kepada saya tentang pernyataan saya yang menyebutkan bahwa Keputusan Pencabutan Pembebasan Bersyarat (KPPB) oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.

Memang, salah satu yang menjadi poin gugatan yang saya ajukan dan dimenangkan oleh PTUN Jakarta, selain bahwa KPPB bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, adalah bahwa penerbitan Keputusan Pencabutan Pembebasan Bersyarat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, baik yang terdapat dalam UUD 1945, KUHP maupun dalam Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Pelanggaran-pelanggaran asas itu adalah pelanggaran terhadap:
Asas Legalitas, terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyatakan tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Asas inilah menjadi acuan bagi penerapan peraturan sekaligus perlindungan terhadap Hak Asasi manusia di Indonesia;

Asas Retroaktif, yang melarang berlakunya undang-undang secara surut;

Azas Kepastian Hukum, adalah azas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Pemerintah;

Azas Tertib Penyelenggaran Negara, adalah azas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara;

Azas Keterbukaan, adalah azas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara;

Azas Proporsionalitas, adalah azas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara;

Azas Profesionalitas, adalah azas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

Azas Akuntabilitas, adalah azas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Mudah-mudahan hal ini menjadi perhatian kita bersama, khususnya bagi para pengambil kebijakan di negeri ini.


LOGIKA PROFESSOR DENNY INDRAYANA TENTANG MURID NAIK KELAS

Bersikeras mempertahankan ketidakmauannya memberikan bebas bersyarat kepada napi koruptor, di TV One pagi tadi Denny membandingkan murid kelas 5 SD yang akan naik kelas 6. Meskipun anak itu berhak, kata Denny, anak itu tidak otomatis naik kelas. Pelaksanaan hak anak itu tergantung gurunya. Jadi, gurunya boleh saja menaikkan atau tidak menaikkan kelas anak itu. Analog dengan itu, meskipun napi koruptor berhak untuk bebas bersyarat, namun hak itu tidak otomatis didapatnya. Tergantung Menkumham mau memenuhi hak itu atau tidak.

Saya tercengang menyimak uraian Professor Deny Indrayana di atas. Mungkin beliau lupa bahwa yang dinamakan dengan "hak" itu adalah kepentingan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum. Padanan dari hak itu ialah kewajiban. Normalnya, tidak ada hak tanpa kewajiban. Kalau anak kelas 5 SD itu sudah memenuhi segala syarat yang ditetapkan untuk naik kelas, maka dia berhak untuk itu dan haknya dijamin dan dilindungi hukum. Gurunya wajib menaikkan kelas anak itu. Kalau gurunya tidak mau memenuhi kewajibannya, maka anak itu berhak untuk menuntut gurunya agar haknya dipenuhi. Kalau guru tadi tetap menolak, maka gurunya itu dapat digolongkan sebagai guru zalim atau sewenang-wenang.

Analog dengan ilustrasi di atas, setiap napi, tidak terkecuali napi koruptor, berhak untuk bebas bersyarat sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan. Syarat-nya diatur dalam PP dan Peraturan Menteri. Maka, kalau napi koruptor itu sudah memenuhi segala sayarat yang dibutuhkan, mereka berhak untuk mendapat bebas bersyarat. Menkumham wajib memenuhi hak mereka. Napi koruptor tadi berhak menuntut Menkumham untuk memenuhi kewajibannya. Jika Menkumham ngotot tidak mau memenuhinya, maka tidak ada kata yang lebih pantas untuk mengatakan bahwa Menkumham itu adalah manusia zalim atau sewenang-wenang.

Maka saya heran dengan logika Professor Denny Indrayana itu..



DENNY INDRAYANA DAN KEPANIKAN SEBUAH REZIM

Serangan bertubi-tubi Denny Indrayana terhadap saya pasca kekalahan di PTUN Jakarta, sesungguhnya menggambarkan kepanikan sebuah rezim yang sedang berkuasa. Sejak awal memerintah, SBY telah bertekad untuk memberantas korupsi dan berjanji akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Namun langkah yang ditempuh SBY bukannya menyiapkan konsepsi dan langkah besar secara sistematis dalam memerangi korupsi, melainkan membentuk tim-tim ad hoc, mulai dari Timtas Tipikor sampai Satgas Pemberantasan Anti Mafia Hukum. Hasilnya, boleh dikatakan nihil. Korupsi bukannya berhasil diberantas, malah makin melebar dan meluas, secara struktural dan sistemik. Kekuasaan rezim dibangun dengan dukungan finansial yang luar biasa untuk meraih kemenangan dalam Pemilu. Tokoh-tokoh partai yang penguasapun, bukannya menjadi pelopor pemberantasan korupsi, malah mulai terlibat mempraktikkannya. Kalau rezim dibangun dengan dukungan uang yang besar, dan pimpinan partai penguasa juga dipilih dengan uang yang berbicara, maka apa lagi yang diharapkan dari rezim dan partai demikian untuk memberantas korupsi di negeri ini.

Pemberantasan korupsi memerlukan pendekatan menyeluruh. Aturan hukum harus diperbaiki dan sistem harus diperkuat. Adalah sia-sia berteriak ingin memberantas korupsi, sementara norma hukum tidak diperbaiki, dan sistem bernegara yang dibangun malah mendorong dan membuka peluang lebar-lebar untuk korupsi. Sisi lain pemberantasan korupsi yang tidak boleh diabaikan adalah keteladanan sang pemimpin. Hukum harus ditegakkan terhadap siapapun, terutama terhadap diri sendiri. Namun rezim ini mengulang kembali praktik rezim lama. Ketika korupsi diduga melibatkan orang-orang yang berada di puncak kekuasaan dan partai yang berkuasa, langkah pemberantasan korupsi seakan menjadi mandul. Rakyat takkan pernah percaya iktikad baik rezim untuk memberantas korupsi selama mega skandal korupsi seperti kasus Bank Century tak pernah tersentuh oleh hukum.

Di tengah kepanikan tudingan kegagalan memberantas korupsi, rezim berupaya untuk membangun citra bahwa dirinya bersih. Dalam konteks pembangunan citra itu, cara-cara ad hoc dan parsial kembali ditempuh, termasuk "moratorium" dan "pengetatan pemberian remisi" yang disebut-sebut akan mampu menimbulkan "efek jera" bagi koruptor. Langkah parsial seperti itupun tidak dilakukan dengan persiapan yang matang dan konsepsional: konstitusi diabaikan dan undang-undang ditabrak melalui "kebijakan" yang terkesan seadanya dan seenaknya melalui Staf Khusus Presiden yang belakangan diangkat menjadi Wamenkumham, Professor Denny Indrayana. Ketika langkah dikritik, rezim bukannya introspeksi malah menyerang balik menuduh kelompok kritis sebagai pro-koruptor, pembela koruptor dan bahkan memimpin "corruptor fight back". Padahal, yang dilakukan pengkritik esensinya bukanlah membela korupsi, sebaliknya malah menelanjangi rezim yang telah gagal memerangi korupsi. Bahkan, rezim sendiri diduga kuat terlibat dalam praktik-praktik korupsi yang ingin mereka perangi.

Esensi kegagalan penanganan korupsi kemudian dibelokkan menjadi serangan bersifat propaganda bermata dua: di satu sisi ingin menutupi kegagalan dan menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka adalah kampiun anti korupsi, dan di sisi lain memonjokkan lawan dengan dengan menuduhnya untuk membangun stigma sebagai pro dan bahkan pembela korupsi. Rezim yang mencoba bertahan dengan menggunakan propaganda politik a la Hitler dan Jozeph Goebbels, dalam sejarah tak pernah berhasil untuk bertahan. Karena mereka adalah penipu yang sebenarnya yang menggunakan kedok-kedok kekuasaan yang berlapis-lapis membela diri dari kegagalan. Namun suatu ketika, kedok-kedok akan terbuka, yang akhirnya akan mempermalukan mereka di hadapan rakyatnya sendiri...



BERPIKIR JERNIH

Polemik tentang apa yang saya lakukan dengan dikabulkannya gugatan yang kami ajukan di PTUN Jakarta terus berkembang, bahkan dalam beberapa hal sudah melenceng terlalu jauh dari substansi persoalan.

Tidaklah benar saya menjadi pembela koruptor, seperti disebut oleh Denny dan banyak komentator baik di media arus utama maupun sosial media. Saya juga tidak bicara tentang hak asasi koruptor dalam gugatan ke pengadilan.

Kami menggugat Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebuah keputusan Menteri haruslah berdasarkan undang-undang. Kalau tidak, keputusan tersebut batal, meskipun keputusan itu menyangkut koruptor. Inilah prinsip negara hukum.

Sekarang, koruptor yang dibenci. Dulu PKI yang dibenci. Namun keadilan harus ditegakkan terhadap siapapun, meskipun terhadap orang yang kita benci, seperti dikatakan al-Qur'an “jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap sekelompok orang menyebabkan kalian berlaku tidak adil terhadap mereka. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa”.

Esensi dari apa yang saya lakukan, bila dilihat dengan pikiran yang jernih dan jauhkan diri dari sikap a priori, bukanlah saya menjadi pembela koruptor, tetapi saya membela ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa.

Kita tidak boleh menggunakan sentimen kebencian untuk membenarkan suatu tindakan yang tidak adil dan tidak berdasarkan hukum yang berlaku. Implikasi dari tindakan demikian, kita akan menggeser prinsip negara hukum menjadi negara kekuasaan atau negara diktator.

THINK CLEARLY a polemic about what I'm doing with dikabulkannya suit we submitted in PTUN Jakarta continues to grow, even in some ways already deviated too far from the substance of the matter.
It is not true I am a defender of the deeds, as called by Denny and many commentators in the mainstream media and social media. I'm also not talking about rights deeds in a lawsuit to court.
Us sues Decree Minister of Justice and human rights to the country's administrative court. A Minister's decision shall be based on law. If not, the decision is void, though that decision concerns the corruptor. This is the principle of State law.
Now, the corruptor was hated. PKI used to be hated. However, justice should be enforced against anyone, even though the people we hate, as said al-Qur'an "never hate you guys against a group of people cause you guys apply unfairly against them. Apply, because it's fair adillah closer to piety ".
The essence of what I was doing, when viewed with a clear mind and keep away from the attitude of a priori, is not me being a defender of the corruptor, but I stand up for injustice committed by the ruler.
We should not use the sentiments of hatred to justify an action that is unfair and not based on applicable law. The implications of such actions, we will shift the principles of State law to the State power or State dictator.

Tidak ada komentar: